BEIRUT, (Panjimas.com) – Sekitar 7.000 warga sipil dilaporkan telah meninggalkan wilayah Ghouta Timur menuju wilayah yang dikuasai pasukan oposisi Suriah di dekat perbatasan Turki, Selasa (27/03), demikian menurut Observatorium Suriah untuk Hak Asasi Manusia, Syrian Observatory for Human Rights (SOHR).
Evakuasi ini sebagai bagian dari perjanjian yang diperantarai Rusia antara rezim Assad dan kelompok oposisi bersenjata.
SOHR melaporkan konvoi evakuasi penduduk Ghouta dan para pejuang oposisi itu membawa sekitar 100 bus dan berangkat pada Selasa dini hari (27/03).
Sekitar 100 bus itu bergerak menuju Suriah bagian Utara.
Sekitar 7.000 jiwa itu termasuk para pejuang oposisi, keluarga mereka, dan warga sipil lainnya, jelas SOHR.
Ghouta Timur berada dalam jaringan zona de-eskalasi – yang didukung oleh Turki, Rusia dan Iran – di mana tindakan agresi militer dilarang.
Desa-desa di Ghouta Timur terus menjadi sasaran pasukan rezim Assad, meskipun fakta bahwa wilayah-wilayah tersebut termasuk dalam jaringan zona de-eskalasi dimana tindakan agresi militer dilarang.
Rezim Bashar al-Assad, bagaimanapun, telah berulang kali melanggar kesepakatan zona de-eskalasi tersebut dan telah menargetkan wilayah-wilayah pemukiman.
Sejak 19 Februari, lebih dari 1.000 orang dilaporkan tewas dalam serangan oleh rezim dan sekutunya di Ghouta Timur.
Menjadi rumah bagi sekitar 400.000 penduduk, Ghouta Timur tetap berada di bawah pengepungan rezim yang melumpuhkan selama lima tahun terakhir. Dalam laporan tahunan yang baru saja dirilis, White Helmets menuding bahwa sebanyak 1.337 warga sipil dibunuh di Ghouta Timur pada sepanjang tahun 2017 akibat serangan-serangan yang terus berlanjut oleh pasukan rezim Bashar al-Assad.
Ghouta Timur telah dikepung selama 5 tahun lamanya dan akses kemanusiaan ke kota yang merupakan rumah bagi 400.000 warga sipil tersebut kini telah benar-benar terputus. Ratusan ribu penduduk saat ini sangat membutuhkan bantuan medis.
Dalam 8 bulan terakhir, rezim Bashar al-Assad telah mengintensifkan pengepungan di wilayah Ghouta Timur, sehingga hampir tidak mungkin disalurkannya pasokan makanan dan akses obat-obatan ke distrik tersebut sehingga membuat ribuan pasien dalam kondisi kritis dan memerlukan pengobatan segera.[IZ]