Jakarta (Panjimas.com) – Inilah perjumpaan yang dinanti-nanti, ketika dua pimpinan ormas Islam besar di Indonesia saling bertemu. Di kantor PBNU, Ketua Umum PP Muhammadiyah H. Haidar Nasir melakukan kunjungan silaturahim dengan Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siroj dan, Jum’at (23/3/2018). Dalam pernyataan bersama, kedua ormas Islam itu bersepakat untuk menyambung persaudaraan.
“Hari ini kami melakukan silaturahim, menyambung persaudaraan dan rekonsiliasi. Orang yang takut dengan hari hisab, akan saling silaturahim dengan tulus. Silaturahim ini akan ditindaklanjuti dengan menyemakan persepsi, orientasi, dan cara berpikir, meski beda-beda dikit tidak mengapa,” kata Ketua Umum PBNU KH. Said Aqil Siroj di Gedung PBNU.
Seperti diketahui, kata KH. Said, NU dan Muhammadiyah adalah sama-sama pendiri NKRI, bukan hanya penonton. Pendiri Muhammadiyah KH Ahmad Dahlan dan pendiri NU KH. Hasyim Asy’ari dahulunya pernah satu perguruan. Keduanya belajar di Semarang, termasuk di Mekkah. Begitu pulang dari Tanah Suci, masing-masing punya cita-cita yang sama. KH Ahmad Dahlan mendirikan Muhammadiyah, dan KH. Hasyim Asy’ari mendirikan Pesantren Tebu Ireng dan NU.
“NU dan Muhammadiyah sejak dulu sepakat, Indonesia sebagai Darussalam atau negara yang damai, bukan negara agama atau suku serta etnis apapun. Karena itu silaturahim ini harus ditindaklanjuti dengan silatu amal, ikhtiar dan hubungan kerjasama. Percuma, kalau silaturahim jika actionnya tidak sama.”
Nabi Muhammad Saw, lanjut KH. Said, dahulu juga membangun jaringan dalam hal perdagangan, politik, dan sosial. “Mudah-mudahan NU-Muhammadiyah ke depan mampu bekerjasama dalam bidang ekonomi dan sosia, juga komunikasi spiritual, sehingga bisa saling mendoakan dan saling support.”
Memasuki tahun politik dan menghadapi Pilpres, Pilgub, Pileg, NU kata Said, NU-Muhammadiyah sudah seharusnya saling bergandengan tangan, menciptakan suasana yang kondusif, ketenangan dan kedamaian. “Tunjukan bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang bermartabat, bukan bangsa jahiliyah yang biadab, terbelakang, dan main hakim sendiri. Tunjukan bahwa kita adalah umat yang berperadaban dan berbudaya,” ungkap Said.
Saat berceramah di depan Raja Maroko, Said Aqil menjelaskan tentang Islam nusantara, yakni Islam yang damai, santun dan menjunjung kultur. “Jadi, Islam Nusantara itu bukan mazhab, aliran, apalagi agama baru. Keliru, jika ada yang bilang, saya bikin mazhab baru. Islam Nusantara hanya tipologi, ciri khas Islam Indonesia yang damai dengan budaya dan tradisinya, selama tidak bertentangan dengan syariat Islam.”
Silaturahim NU-Muhammadiyah ini menyepakati hal-hal yang universal, tidak parsial, perbedaan politik dan hal-hal furu’iyah. NU-Muhammadiyah sepakat untuk menyelamatkan dan menjaga keutuhan NKRI. Keutuhan NKRI bukan hanya keutuhan geografi atau wilayah, tapi juga budaya. Kita harus bangga dengan budaya kita sendiri.
“Silaturahim ini diharapkan mendorong NU-Muhammadiyah semakin bersatu. Terlebih di era teknologi dan sosial media, kadang-kadang orang bisa diadu domba dan terpengaruh oleh provokasi, fitnah, dan berita hoax,” ujarnya.
Dengan demikian, NU-Muhammadiyah sepakat dengan tagline Islam Nusantara yang berkemajuan. Terpenting adalah saling menghormati, bukan hanya dengan sesama muslim, tapi juga non-muslim. Di tahun politik, Ketua Umum PBNU mengajak rakyat Indonesia menyongsongnya dengan tenang, jangan ada ketegangan dan jangan hancurkan persaudaraan yang telah lama terjalin.
“Kita berharap, Indonesia tidak seperti Timur Tengah yang dengan sesama muslim saling bertempur. Mudah-mudahan, Indonesia tidak seperti itu. Walau berbeda pilihan, beda ormas dan pemahaman, kita tetap damai.
Ketika ditanya wartawan, kenapa baru sekarang silaturahim ini dilakukan? Said Aqil mengatakan, kami punya kesibukan masing-masing. Tapi, dulu silaturahim NU-Muhammadiyah sudah pernah dilakukan semasa Gus Dur dengan Malik Fajar atau Amin Rais, KH. Hasyim Muzadi dengan Din Syamsuddin, dan kini giliran saya (Said Aqil) dengan Haidar Nashir.
Sementara itu, Ketua Umum PP Muhammadiyah, Haidar Nashir mengatakan, silaturahim ini seperti silaturahim keluarga. Atau kunjungan kakak yang datang ke adiknya.
“Ke depan, kehidupan politik akan dinamis. Kami percaya para elit politik mampu mengelola dinamika politik dengan baik. Karena kita punya pengalaman sejarah yang cukup matang, dimana kita akan membingkai secara moral dan kultual serta nilai-nilai agar demokrasi di Indonesia membawa kemajuan, kesejahteraan dan keutuhan Indonesia,” ungkap Haidar Nasir. (ass)