CHITTADONG, (Panjimas.com) – LSM “Save the Children” baru-baru ini memperingatkan adanya wabah penyakit di kamp-kamp pengungsian Rohingya di Bangladesh terutama saat musim hujan terus berlanjut.
Dalam pernyataannya yang dirilis Jumat (16/03) lalu, kelompok hak asasi anak internasional mengatakan bahwa risiko kesehatan berasal dari kurangnya pengaturan kakus [toilet] yang tepat.
“Potensi keadaan darurat kesehatan yang baru dan mematikan sangat nyata. Seperempat (1/4) dari semua toilet di kamp-kamp pengungsian tersebut diperkirakan akan rusak akibat hujan lebat selama musim hujan,” pungkas Myriam Burger, penasihat kesehatan “Save The Children” di kota Cox’s Bazar, di mana puluhan bahkan ratusan ribu pengungsi Rohingya tinggal di kamp-kamp pengungsian, dilansir dari Anadolu.
PBB telah mengajukan bantuan dana darurat sebesar $950 juta dollar untuk memenuhi kebutuhan penduduk Rohingya, ujar pernyataan tersebut menambahkan.
Secara terpisah, UNICEF mengatakan bahwa sedikitnya 50.000 toilet dibutuhkan oleh para pengungsi Rohingya.
Dalam Sebulan, 9.400 Muslim Rohingya Meregang Nyawa di Rakhine
Hampir 10.000 penduduk Rohingya meregang nyawa dalam satu bulan, setelah tindakan brutal yang dipimpin oleh pemerintah Myanmar di negara bagian Rakhine pada akhir Agustus tahun lalu, demikian menurut Doctors Without Borders (MSF).
Angka-angka tersebut dipublikasikan dalam laporan MSF pada bulan Maret 2018 yang berjudul “No One Are Left” (Tidak Ada Yang Ditinggalkan). laporan MSF itu menunjukkan bahwa setidaknya 9.400 penduduk Rohingya kehilangan nyawa mereka di Myanmar antara 25 Agustus dan 24 September, dan setidaknya 6.700 di antaranya meninggal dunia karena “kekerasan” .
Sedikitnya 730 anak-anak yang berusia di bawah 5 tahun juga diperkirakan terbunuh pada periode yang sama, tulis laporan MSF.
Menurut data, luka-luka yang ditangani oleh para staf MSF dan hasil dari survei kesehatan MSF menunjukkan “penggunaan kekuatan yang berlebihan” oleh pasukan Militer Myanmar, dan “meluasnya penggunaan kekerasan” terhadap populasi Muslim Rohingya.
“Penindasan yang kejam ini telah mengakibatkan tingginya angka kematian di kalangan penduduk Rohingya di Myanmar, dan telah menyebabkan pemindahan paksa dari mereka yang berhasil bertahan,” pungkas MSF.
Myanmar dan Bangladesh sebelumnya dikabarkan menandatangani kesepakatan repatriasi untuk tahun ini, namun pihak berwenang Myanmar menolak mengizinkan badan-badan internasional manapun termasuk PBB untuk mengawasi proses pemulangan pengungsi Rohingya tersebut.
Lebih dari 750.000 pengungsi, kebanyakan anak-anak dan perempuan, telah meninggalkan Myanmar dan menyeberang ke Bangladesh sejak 25 Agustus 2017, akibat tindakan brutal dan kejam pasukan Myanmar terhadap komunitas Muslim minoritas, demikian menurut Amnesty International (AI).
Rohingya, Etnis Paling Teraniaya
Etnis Rohingya, digambarkan oleh PBB sebagai etnis yang paling teraniaya dan tertindas di dunia, Mereka telah menghadapi ketakutan tinggi akibat serangan pasukan Myanmar dan para ektrimis Buddha.
Sedikitnya 9.000 Rohingya dibantai di negara bagian Rakhine mulai 25 Agustus hingga 24 September, demikian menurut laporan Doctors Without Borders [MSF].
Dalam laporan yang diterbitkan pada 12 Desember lalu, organisasi kemanusiaan global itu mengatakan bahwa kematian 71,7 persen atau 6.700 Muslim Rohingya disebabkan oleh kekerasan. Diantara para korban jiwa itu, termasuk 730 anak di bawah usia 5 tahun.
Dilaporkan bahwa lebih dari 647.000 penduduk Rohingya terpaksa menyeberang dari Myanmar ke Bangladesh sejak 25 Agustus 2017 ketika Tentara Myanmar melancarkan tindakan brutal dan kejam terhadap Minoritas Muslim itu, sementara itu menurut angka PBB, jumlahnya adalah 656.000 jiwa.
Para pengungsi Rohingya tersebut melarikan diri dari operasi militer brutal Myanmar yang telah melihat pasukan militer dan massa ektrimis Budhdha membunuhi pria, wanita dan anak-anak, bahkan menjarah rumah-rumah dan membakar desa-desa Muslim Rohingya.[IZ]