GHOUTA TIMUR, (Panjimas.com) – Rezim Bashar al-Assad dan sekutu-sekutunya memaksa lebih dari 3.000 penduduk sipil di lingkungan Hamouriyah Ghouta Timur untuk pindah ke daerah-daerah yang dikuasai rezim, demikian menurut sumber setempat.
Menurut koresponden Anadolu Agency yang berbasis di Ghouta, warga sipil di pinggiran kota Damaskus terpaksa pindah atau menghadapi ancaman penangkapan.
Awal pekan ini, pasukan rezim Assad secara efektif membagi Ghouta Timur menjadi tiga bagian yang berbeda, kemudian menguasai daerah Hamouriyah dan sejak itu telah melakukan beberapa serangan terhadap wilayah-wilayah sipil.
Pergerakan terakhir terjadi, meski sebuah resolusi Dewan Keamanan PBB diadopsi bulan lalu yang menyerukan gencatan senjata sebulan penuh di Suriah – terutama di Ghouta Timur – untuk membuka akses penyaluran bantuan kemanusiaan.
Dewan Keamanan PBB mengadopsi sebuah resolusi yang menyerukan gencatan senjata 30 hari di Suriah tanpa penundaan.
“Semua pihak [harus] menghentikan permusuhan tanpa penundaan dan berkomitmen untuk memastikan jeda kemanusiaan yang bertahan selama setidaknya 30 hari berturut-turut di seluruh wilayah Suriah untuk memungkinkan pengiriman bantuan kemanusiaan dan layanan kemanusiaan yang aman, tanpa hambatan dan berkelanjutan serta evakuasi medis warga yang sakit dan terluka parah, sesuai dengan hukum internasional yang berlaku,” jelas pernyataan yang baru-baru ini dirilis oleh Dewan Keamanan PBB.
Resolusi tersebut menyerukan evakuasi medis 700 warga sipil, terutama di Ghouta Timur, daerah pinggiran yang diblokade rezim Assad di dekat Damakus.
Resolusi DK PBB itu juga menuntut gencatan senjata di kota-kota Suriah seperti Yarmouk, Al-Fu’ah dan Kafriya, yang masih dikepung oleh rezim Bashar al-Assad.
Resolusi yang dipersiapkan oleh Swedia dan Kuwait itu, kemudian diadopsi setelah beberapa penundaan, karena anggota Dewan Keamanan PBB berusaha meyakinkan Rusia, salah satu negara pendukung rezim Assad.
Perwakilan Tetap Rusia untuk PBB, Vassily Nebenzia mengklaim bahwa “ribuan teroris” tetap berada di Ghouta Timur.
Ghouta Timur berada dalam jaringan zona de-eskalasi – yang didukung oleh Turki, Rusia dan Iran – di mana tindakan agresi militer dilarang.
Desa-desa di Ghouta Timur terus menjadi sasaran pasukan rezim Assad, meskipun fakta bahwa wilayah-wilayah tersebut termasuk dalam jaringan zona de-eskalasi dimana tindakan agresi militer dilarang.
Rezim Bashar al-Assad, bagaimanapun, telah berulang kali melanggar kesepakatan zona de-eskalasi tersebut dan telah menargetkan wilayah-wilayah pemukiman.
Menjadi rumah bagi sekitar 400.000 penduduk, Ghouta Timur tetap berada di bawah pengepungan rezim yang melumpuhkan selama lima tahun terakhir. Dalam laporan tahunan yang baru saja dirilis, White Helmets menuding bahwa sebanyak 1.337 warga sipil dibunuh di Ghouta Timur pada sepanjang tahun 2017 akibat serangan-serangan yang terus berlanjut oleh pasukan rezim Bashar al-Assad.
Ghouta Timur telah dikepung selama 5 tahun lamanya dan akses kemanusiaan ke kota yang merupakan rumah bagi 400.000 warga sipil tersebut kini telah benar-benar terputus. Ratusan ribu penduduk saat ini sangat membutuhkan bantuan medis.
Dalam 8 bulan terakhir, rezim Bashar al-Assad telah mengintensifkan pengepungan di wilayah Ghouta Timur, sehingga hampir tidak mungkin disalurkannya pasokan makanan dan akses obat-obatan ke distrik tersebut sehingga membuat ribuan pasien dalam kondisi kritis dan memerlukan pengobatan segera.[IZ]