COX BAZAR, (Panjimas.com) – Hampir 10.000 penduduk Rohingya meregang nyawa dalam satu bulan, setelah tindakan brutal yang dipimpin oleh pemerintah Myanmar di negara bagian Rakhine pada akhir Agustus tahun lalu, demikian menurut Doctors Without Borders (MSF).
Angka-angka tersebut dipublikasikan dalam laporan MSF pada bulan Maret 2018 yang berjudul “No One Are Left” (Tidak Ada Yang Ditinggalkan). laporan MSF itu menunjukkan bahwa setidaknya 9.400 penduduk Rohingya kehilangan nyawa mereka di Myanmar antara 25 Agustus dan 24 September, dan setidaknya 6.700 di antaranya meninggal dunia karena “kekerasan” .
Sedikitnya 730 anak-anak yang berusia di bawah 5 tahun juga diperkirakan terbunuh pada periode yang sama, tulis laporan MSF.
Menurut data, luka-luka yang ditangani oleh para staf MSF dan hasil dari survei kesehatan MSF menunjukkan “penggunaan kekuatan yang berlebihan” oleh pasukan Militer Myanmar, dan “meluasnya penggunaan kekerasan” terhadap populasi Muslim Rohingya.
“Penindasan yang kejam ini telah mengakibatkan tingginya angka kematian di kalangan penduduk Rohingya di Myanmar, dan telah menyebabkan pemindahan paksa dari mereka yang berhasil bertahan,” pungkas MSF.
Myanmar dan Bangladesh sebelumnya dikabarkan menandatangani kesepakatan repatriasi untuk tahun ini, namun pihak berwenang Myanmar menolak mengizinkan badan-badan internasional manapun termasuk PBB untuk mengawasi proses pemulangan pengungsi Rohingya tersebut.
Lebih dari 750.000 pengungsi, kebanyakan anak-anak dan perempuan, telah meninggalkan Myanmar dan menyeberang ke Bangladesh sejak 25 Agustus 2017, akibat tindakan brutal dan kejam pasukan Myanmar terhadap komunitas Muslim minoritas, demikian menurut Amnesty International (AI).
Repatriasi 750.000 Pengungsi Rohingya
Myanmar mengungkapkan rencanya untuk membawa kembali 750.000 penduduk Muslim Rohingya yang kini sedang berlindung di wilayah Bangladesh dalam 2 tahun ke depan, demikian menurut pernyataan Duta Besar Bangladesh untuk Turki, Selasa (06/02).
Saat diwawancarai Anadolu di Istanbul, Duta Besar Allama Siddiki mengatakan, “kini terdapat sebuah kelompok kerja sama antara Bangladesh dan Myanmar. Kami sepakat dengan Myanmar bahwa mereka akan segera memulai repatriasi (pemulangan kembali). ”
Siddiki menambahkan: “Dalam 2 tahun dari sekarang Myanmar akan memulangkan kembali hampir 750.000 pengungsi Rohingya di Bangladesh.”
Awal bulan ini, Bangladesh dan Myanmar menyelesaikan sebuah kesepakatan mengenai pengaturan fisik untuk pemulangan Rohingya dan setuju untuk mengirim 100.000 pengungsi Rohingya kembali ke Myanmar pada tahap pertama.
Proses tersebut akan memakan waktu lama dengan Myanmar yang menyetujui untuk menerima 1.500 penduduk Rohingya tiap pekannya dengan tujuan untuk memulangkan kembali lebih dari 700.000 penduduk dalam kurun waktu 2 tahun ke depan.
Para pengungsi Rohingya tersebut pertama-tama akan ditempatkan di “kamp sementara” di bawah kendali Myanmar dan kemudian menetap di sebuah wilayah di Myanmar.
Allama Siddiki menyambut baik upaya bantuan Turki dan sikapnya mengenai krisis kemanusiaan di Myanmar.
ARU dan ERC Tuntut Perombakan Kesepakatan Repatriasi
Uni-Arakan Rohingya, Arakan Rohingya Union (ARU) dan Dewan Rohingya Eropa, European Rohingya Council (ERC) Rabu (31/01) lalu mendesak pemerintah Myanmar untuk menegosiasikan ulang kesepakatan pemulangan pengungsi Rohingya dengan pemerintah Bangladesh.
ARU dan ERC juga menyerukan agar Myanmar mengizinkan perwakilan UNHCR dan perwakilan etnis Rohingya dari kamp-kamp pengungsian untuk menjadi pihak-pihak yang terlibat dalam kesepakatan Myanmar-Bangladesh tersebut.
Dalam pernyataan bersama, ARU dan ERC mengatakan bahwa pemerintah Myanmar harus “menangani masalah keamanan, hak asasi manusia dan kewarganegaraan yang dihadapi oleh minoritas etnis Rohingya, sebelum ada langkah yang diambil untuk memulangkan para pengungsi Rohingya dari kamp-kamp di Bangladesh ke rumah-rumah asalnya di Negara bagian Rakhine “.
ARU dan ERC juga menyuarakan keprihatinannya secara serius atas situasi keamanan di desa-desa muslim Rohingya, mereka mengatakan “serangan dan penjarahan oleh Angkatan Bersenjata Myanmar dan milisi Buddha-Rakhine telah berlangsung selama beberapa hari terakhir terakhir”, dilansir dari Anadolu.
Pemerintah Myanmar telah gagal menunjukkan bahwa Mereka “benar-benar bekerja dengan Komisi Rakhine untuk Pelaksanaan Rekomendasi Annan,” demikain menurut pernyataan bersama ARU dan ERC.
Kelompok-kelompok tersebut mendesak Myanmar untuk “bekerja sama dengan Komisi Rakhine dengan penuh transparansi serta menghormati pandangan-pandangan dan integritas para anggota Komisi, dan sepenuhnya menerapkan rekomendasi dari Komisi Annan dengan tolok ukur”.
ARU dan ERC mendesak agar pemerintah Myanmar menegosiasikan ulang kesepakatan pemulangan para pengungsi Rohingya dengan melibatkan UNHCR dan perwakilan Pengungsi Rohingya yang berasal dari kamp-kamp di Bangladesh.
ARU-ERC menyerukan agar pemerintah Myanmar dapat mengizinkan kelompok bantuan kemanusiaan dan lembaga pembangunan internasional untuk membantu pembangunan kembali desa-desa muslim Rohingya yang dihancurkan.
Pernyataan ARU-ERC juga menuntut pemerintah Myanmar untuk “memulai rencana rekonstruksi dan rehabilitasi yang ketat bagi para imigran yang kembali dalam proses pemulangan dengan berkoordinasi dengan UNHCR, kelompok bantuan internasional, dan perwakilan pengungsi Rohingya agar mereka dapat kembali ke rumah / properti asli mereka dengan tidak ada kamp transit, kamp semi-permanen, ataupun kamp-kamp permanen “.
Kesepakatan bilateral antara Myanmar dan Bangladesh, yang ditandatangani pada tanggal 23 November tahun lalu, menetapkan beberapa kondisi yang hampir tidak mungkin untuk memverifikasi hak tinggal masyarakat bahwa kesepakatan tersebut menyebutkan “orang-orang terlantar dari Myanmar” [Displaced Persons From Myanmar] dan bukan identitas etnis Rohingya yang diketahui secara luas.
Kelompok hak asasi manusia termasuk Human Rights Watch (HRW), Badan Pengungsi PBB dan Amnesty International telah menyuarakan keprihatinan mendalamnya atas kesepakatan Myanmar-Bangladesh tersebut, dengan mengatakan bahwa kesepakatan itu akan mengirim kembali para pengungsi Rohingya menjadi korban dalam tindakan-tindakan brutal di Myanmar.
Amnesty menyebutkan bahwa rencana itu “sangat prematur”, sementara HRW meminta kedua pemerintah yakni Myanmar dan Bangladesh untuk merombak kesepakatan dengan melibatkan Komisaris Tinggi PBB untuk Pengungsi.
Awal bulan ini, Bangladesh dan Myanmar menyelesaikan sebuah kesepakatan mengenai pengaturan fisik untuk pemulangan Rohingya dan setuju untuk mengirim kembali 100.000 penduduk Rohingya ke Myanmar pada tahap pertama.
Rohingya, Etnis Paling Teraniaya
Etnis Rohingya, digambarkan oleh PBB sebagai etnis yang paling teraniaya dan tertindas di dunia, Mereka telah menghadapi ketakutan tinggi akibat serangan pasukan Myanmar dan para ektrimis Buddha.
Sedikitnya 9.000 Rohingya dibantai di negara bagian Rakhine mulai 25 Agustus hingga 24 September, demikian menurut laporan Doctors Without Borders [MSF].
Dalam laporan yang diterbitkan pada 12 Desember lalu, organisasi kemanusiaan global itu mengatakan bahwa kematian 71,7 persen atau 6.700 Muslim Rohingya disebabkan oleh kekerasan. Diantara para korban jiwa itu, termasuk 730 anak di bawah usia 5 tahun.
Dilaporkan bahwa lebih dari 647.000 penduduk Rohingya terpaksa menyeberang dari Myanmar ke Bangladesh sejak 25 Agustus 2017 ketika Tentara Myanmar melancarkan tindakan brutal dan kejam terhadap Minoritas Muslim itu, sementara itu menurut angka PBB, jumlahnya adalah 656.000 jiwa.
Para pengungsi Rohingya tersebut melarikan diri dari operasi militer brutal Myanmar yang telah melihat pasukan militer dan massa ektrimis Budhdha membunuhi pria, wanita dan anak-anak, bahkan menjarah rumah-rumah dan membakar desa-desa Muslim Rohingya.[IZ]