Jakarta (Panjimas.com) — Setelah menonton film “Benyamin Biang Kerok” besutan sutradara Hanung Bramantyo, Perkumpulan Betawi Kita menyatakan Kecewa, bahkan merasa dihina. Bagaimana tidak, mengingat Benyamin S bukan sekadar tokoh film, pemusik, dan segambreng lagi sebutannya. Benyamin S telah menjadi manifestasi dari kebudayaan dan sejarah orang Betawi.
Demikian siaran pers yang diterima Panjimas, Jumat (9/3) terkait film Benyamin Biang Kerok yang saat ini sedang tayang dibioskop-dibioskop.
Hanung dan para penulis skenario serta para pemodalnya telah dengan sengaja memanfaatkan nama Benyamin sebagai
komoditas. Tidak lebih dari itu saja, meskipun film didedikasikan untuk mengenang Benyamin. Izin dari keluarga dengan iming-iming merayakan ulang tahun Benyamin dengan menafsirkannya ulang.
Namun, ini hanya kamuflase, trik memalukan yang disebut Sjumandjaja sebagai tukang kelontong perfilman. Mereka ini, kata Sjuman, tidak ada punya kreativitas sebagai unsur utama film. Mereka hanya punya kreativitas bagaimana melipatgandakan modal. Memperbarui angka rekening dan bukan memperbarui nilai film nasional.
Mayoritas narasi, adegan, gaya hidup yang dipertontonkan menjelaskan dengan gamblang tidak hadirnya pikiran di dalamnya. Semua asal comot. Memang benar Benyamin juga asal comot. Tetapi, beda asal comot dengan kreativitas dibanding asal comot yang tanpa pikiran. Hasilnya yang satu pembaruan, sedangkan satu lagi kedunguan. Ya, kedunguan demi kedunguan inilah yang menyertai perjalanan film.
Di awal adegan, Sutradara Hanung banyak mencomot film James Bond dengan Casino Royal-nya, Mission Imposible, Tomb Rider, dan latar belakang Mafioso yang sarat dengan perjudian, miras dan pornografi. Hanung tidak puas jika hanya menjiplak narasi film aksi yang berkiblat dari Hollywood. Ia tutup film dengan adegan perkelahian yang menjiplak film Kungfu Hustle dari Hongkong.
Di antara awal dan akhir demikianlah jiplakan demi jiplakan disambung yang buruk disambung sebagai cerita. Ada juga kreasi semisal Pengki dan ibunya sebagai pengusaha super kaya dari bisnis teknologi. Tetapi, tidak dijelaskan seperti apa, malahan yang muncul dalam penjelasan ibunya bisnis properti dan tampak sedang macet proyek propertinya.
Di hadapan mereka duduk dua orang yang wajahnya jelas-jelas ingin agar penonton mengidentifikasi itu adalah pasangan Ahok-Djarot. Keduanya digambarkan dengan wajah yang takut sambil minta sogokan. Disebut-sebut juga kata “gubernur baru” yang menurut kedua pasangan susah diatur (?). Kemudian ibunya Pengki bilang, “semua bisa disogok”.
Ini hanya salah satu bagian dari cerita yang menunjukkan betapa selain penuh jiplakan, juga sesungguhnya cerita film mentah. Alhasil banyak keajaiban-keajaiban yang tidak logis yang berujung pada cerita film yang kacau karena gagal bercerita. Dan juga yang menyedihkan karakter yang lemah.
Akibatnya sayang sekali pemain-pemain sekaliber Lidya Kandouw, Omas, Mariam Bellina, Komar, bahkan Rano Karno yang sebenarnya punya hubungan khusus dengan Benyamin tak tampak kecemerlangannya. Malah tidak menemukan alur cerita yang menantang dan memompa kejenialan membawakan karakter mereka. Tinggal sebagai dari satu gerak ke gerak yang lain yang akal sehatnya sukar dicari, kecuali pada imitasi adegan demi adegan dari film Hollywood sampai Hongkong. Suram.
Demikianlah nasib film yang hanya mendompleng judul dan nama besar Benyamin Sueb dari film garapan Nawi Ismail pada 1972. Benyamin Biang Kerok garapan Hanung Bramantyo dihidupkan untuk dipermalukan bukan hanya Benyamin, tetapi juga para sahabatnya di dunia film yang dilibatkan.
Bahkan memalukan bagi keluarga. Adalah benar dengan film ini nama Benyamin menjadi naik dan dibicarakan lagi. Tetapi, buat apa jika dinaikkan untuk dipermalukan. Buat apa jika dibicarakan untuk jadi bahan dikasihankan nasibnya yang dilecehkan?
Bahkan, pesan keluarga kepada Rumah Produksi Falcon Pictures pun diabaikan. Pesan tidak ada pusar, rokok, minuman keras, semua dilanggar. Film bukan hanya banyak pornografi-pornoaksi, rokok, tapi minuman keras dituang juga kekerasan.
Belum lagi jika bicara tradisi Betawi dalam film tersebut. Boleh dikatakan, narasi Betawi film ini tidak ada, selain sebatas jiplakan yang ditempel asal dan seadanya. Jangan harap film ini seperti Biang Kerok dari Nawi Ismail, Si Doel dari Sjumandjaja atau Rano Karno di sinetronnya yang menggugah dan mendorong penafsiran kebetawian dan nilainya. Film dari Hanung ini jauh dari nilai-nilai dan filosofi kebetawian. Tak bernilai selain komersial dan hanya memalukan Benyamin dengan kebetawiannya.
Celakanya Falcon dan Reza Rahadian yang memerankan sebagai Pengki, terus melakukan promo film terbarunya itu. Bahkan, kabarnya film Benyamin Biang Kerok dibagi menjadi dua bagian. Dijadwalkan akan tayang pada bulan Desember mendatang.
Harapan orang banyak zaman “reborn” film ini akan jadi berkah buat Benyamin Biang Kerok, menjadi lebih baik dari sebelumnya di tahun 1972, justru malah merusak. Tinggal jadi musibah.
Berlatar belakang itu semua Perkumpulan Betawi Kita menghimbau agar: Pertama, Warga masyarakat, khususnya Betawi, tidak menonton film tersebut.
Kedua, Keluarga Benyamin S membatalkan pemakaian nama Benyamin untuk bagian kedua yang sudah dibuat untuk tayang Desember mendatang sebab pihak pembuat film telah mangkir dari pakem moral yang disepakati.
Sudah saatnya para produser menghentikan film-film yang hanya mempertebal stigma negatif tentang orang Betawi. (ass)