DAMASKUS, (Panjimas.com) – Rezim Bashar al-Assad berulang kali membantah tuduhan bahwa mereka menggunakan senjata kimia, pemerintahan Assad pun bersikeras bahwa negaranya “benar-benar” tidak memiliki persenjataan kimia.
Berdasarkan laporan media pemerintah SANA, Kelompok milisi di Ghouta Timur Suriah bersiap untuk melakukan serangan dengan menggunakan senjata kimia dan kemudian rezim Assad turut menyalahkannya hal itu pada Angkatan Darat Arab-Suriah, mengutip sumber militer yang berbicara secara anonim, dilansir dari Sputnik.
Menurut sumber militer yang dikutip SANA, pemimpin kelompok milisi seperti Tahrir al-Sham (yang dahulu bernama ‘Nusra Front’), Faylaq al-Rahman dan Ahrar al-Sham telah menerima instruksi dari Amerika Serikat, Inggris dan sekutunya untuk menggunakan senjata kimia di garis depan dengan tentara Suriah, sekaligus menargetkan warga sipil, dan kemudian menuding Damaskus yang melakukan tindakan tersebut.
Pada tanggal 26 Februari lalu, Kementerian Pertahanan Rusia menyatakan bahwa para pemimpin kelompok militan sedang mempersiapkan provokasi dengan menggunakan zat beracun di Ghouta Timur untuk menudug Damaskus menggunakan senjata kimia.
Sebelumnya pada hari yang sama, menurut klaim SANA, White Helmets yang terkenal, berulang kali memalsukan fakta dan informasi, mengklaim bahwa Pemerintah Suriah telah menggunakan gas klorin ke kota Al-Shifoniya di Ghouta Timur, sehingga menewaskan seorang anak dan menyebabkan “sesak napas” di antara para penduduk lokal, dikutip dari Anadolu.
Anggota Pertahanan Sipil Suriah berlari untuk membantu warga sipil yang selamat dari sebuah jalanan yang diserang oleh serangan udara dan penembakan pasukan Assad, di Ghouta, pinggiran kota Damaskus, Suriah.
Mengomentari laporan tersebut, juru bicara Departemen Pertahanan AS Dana White mengatakan Amerika Serikat “belum melihat bukti penggunaan senjata kimia oleh Pemerintah Suriah di Ghouta Timur, saat ini.”
Namun, pada bulan Februari, juru bicara Departemen Luar Negeri AS Heather Nauert menuduh Damaskus menggunakan senjata kimia di dekat kota Sarawak, wilayah Idlib – sebuah tuduhan, yang kemudian segera dibantah oleh rezim Bashar al-Assad.
“Suriah tidak mungkin menggunakan senjata kimia karena benar-benar tidak memiliki senjata kimia apapun,” pungkas Perwakilan Suriah di Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Hampir sepekan yang lalu, Dewan Keamanan PBB dengan suara bulat mengadopsi Resolusi nomor 2401 yang mendesak pihak-pihak dalam konflik Suriah untuk segera menghentikan semua permusuhan dan mematuhi jeda kemanusiaan jangka panjang di seluruh wilayah Suriah untuk memastikan pengiriman bantuan kemanusiaan agar tidak terganggu, serta bantuan medis dan juga evakuasi para korban yang terluka.
“Semua pihak [harus] menghentikan permusuhan tanpa penundaan dan berkomitmen untuk memastikan jeda kemanusiaan yang bertahan selama setidaknya 30 hari berturut-turut di seluruh wilayah Suriah untuk memungkinkan pengiriman bantuan kemanusiaan dan layanan kemanusiaan yang aman, tanpa hambatan dan berkelanjutan serta evakuasi medis warga yang sakit dan terluka parah, sesuai dengan hukum internasional yang berlaku,” jelas pernyataan yang baru-baru ini dirilis oleh Dewan Keamanan PBB.
Resolusi tersebut menyerukan evakuasi medis 700 warga sipil, terutama di Ghouta Timur, daerah pinggiran yang diblokade rezim Assad di dekat Damakus.
Resolusi DK PBB itu juga menuntut gencatan senjata di kota-kota Suriah seperti Yarmouk, Al-Fu’ah dan Kafriya, yang masih dikepung oleh rezim Bashar al-Assad.
Resolusi yang dipersiapkan oleh Swedia dan Kuwait itu, kemudian diadopsi setelah beberapa penundaan, karena anggota Dewan Keamanan PBB berusaha meyakinkan Rusia, salah satu negara pendukung rezim Assad.
Perwakilan Tetap Rusia untuk PBB, Vassily Nebenzia mengklaim bahwa “ribuan teroris” tetap berada di Ghouta Timur.
Dalam 8 bulan terakhir, pasukan rezim Assad telah mengintensifkan pengepungan di Ghouta Timur, sehingga hampir tidak mungkin bagi akses makanan ataupun obat-obatan masuk ke distrik tersebut dan mengakibatkan ribuan pasien memerlukan perawatan medis segera.
Ghouta Timur berada dalam jaringan zona de-eskalasi – yang didukung oleh Turki, Rusia dan Iran – di mana tindakan agresi militer dilarang.
Desa-desa di Ghouta Timur terus menjadi sasaran pasukan rezim Assad, meskipun fakta bahwa wilayah-wilayah tersebut termasuk dalam jaringan zona de-eskalasi dimana tindakan agresi militer dilarang.
Rezim Bashar al-Assad, bagaimanapun, telah berulang kali melanggar kesepakatan zona de-eskalasi tersebut dan telah menargetkan wilayah-wilayah pemukiman di
Menjadi rumah bagi sekitar 400.000 penduduk, Ghouta Timur tetap berada di bawah pengepungan rezim yang melumpuhkan selama lima tahun terakhir. Dalam laporan tahunan yang baru saja dirilis, White Helmets menuding bahwa sebanyak 1.337 warga sipil dibunuh di Ghouta Timur pada sepanjang tahun 2017 akibat serangan-serangan yang terus berlanjut oleh pasukan rezim Bashar al-Assad.
Ghouta Timur telah dikepung selama 5 tahun lamanya dan akses kemanusiaan ke kota yang merupakan rumah bagi 400.000 warga sipil tersebut kini telah benar-benar terputus. Ratusan ribu penduduk saat ini sangat membutuhkan bantuan medis.
Dalam 8 bulan terakhir, rezim Bashar al-Assad telah mengintensifkan pengepungan di wilayah Ghouta Timur, sehingga hampir tidak mungkin disalurkannya pasokan makanan dan akses obat-obatan ke distrik tersebut sehingga membuat ribuan pasien dalam kondisi kritis dan memerlukan pengobatan segera.[IZ]