LONDON, (Panjimas.com) – Lebih dari 100 nyawa warga sipil melayang di Suriah dalam 72 jam terakhir sejak Dewan Keamanan PBB menyetujui kesepakatan gencatan senjata selama 30 hari, demikian menurut Syrian Network for Human Rights, kelompok hak asasi manusia yang berbasis di Inggris.
Dalam laporan yang dirilis pada hari Rabu (28/02), Jaringan Hak Asasi Manusia Suriah (SNHR) mengatakan bahwa total 107 orang – termasuk 18 perempuan dan 34 anak-anak – telah dibunuh di Suriah selama tiga hari terakhir ini, dilansir dari Anadolu.
Menurut SNHR, 83 di antaranya dibunuh dalam serangan rezim Assad di Provinsi Idlib dan Distrik Ghouta Timur, pinggiran kota Damaskus.
Serangan rezim Assad di wilayah ini telah menargetkan beberapa situs warga sipil, termasuk masjid dan pasar, jelas laporan SNHR tersebut.
Semakin berlanjutnya serangan-serangan menegaskan bahwa pasukan rezim Assad telah menggunakan senjata yang dilarang secara internasional, termasuk bom barel, dan operasi 47 serangan di pinggiran pedesaan Damaskus dan Hama.
Kelompok hak asasi manusia yang berbasi di London Inggris itu menyalahkan kematian 24 korban tewas lainnya akibat serangan udara yang dilakukan oleh pasukan koalisi pimpinan A.S. yang dibentuk untuk memerangi Islamic State (IS), bersama dengan kelompok-kelompok bersenjata yang tidak dikenal, yang masih beroperasi di berbagai wilayah Suriah.
Pada hari Sabtu (24/02), Dewan Keamanan PBB dengan suara bulat mengadopsi sebuah resolusi yang menyerukan gencatan senjata selama 30 hari di Suriah.
Resolusi tersebut disusun menanggapi semakin intensif dan brutalnya serangan pasukan Assad terhadap Ghouta Timur, hingga merenggut ratusan nyawa.
“Semua pihak [harus] menghentikan permusuhan tanpa penundaan dan berkomitmen untuk memastikan jeda kemanusiaan yang bertahan selama setidaknya 30 hari berturut-turut di seluruh wilayah Suriah untuk memungkinkan pengiriman bantuan kemanusiaan dan layanan kemanusiaan yang aman, tanpa hambatan dan berkelanjutan serta evakuasi medis warga yang sakit dan terluka parah, sesuai dengan hukum internasional yang berlaku,” jelas pernyataan yang baru-baru ini dirilis oleh Dewan Keamanan PBB.
Resolusi tersebut menyerukan evakuasi medis 700 warga sipil, terutama di Ghouta Timur, daerah pinggiran yang diblokade rezim Assad di dekat Damakus.
Resolusi DK PBB itu juga menuntut gencatan senjata di kota-kota Suriah seperti Yarmouk, Al-Fu’ah dan Kafriya, yang masih dikepung oleh rezim Bashar al-Assad.
Resolusi yang dipersiapkan oleh Swedia dan Kuwait itu, kemudian diadopsi setelah beberapa penundaan, karena anggota Dewan Keamanan PBB berusaha meyakinkan Rusia, salah satu negara pendukung rezim Assad.
Perwakilan Tetap Rusia untuk PBB, Vassily Nebenzia mengklaim bahwa “ribuan teroris” tetap berada di Ghouta Timur.
Dalam 8 bulan terakhir, pasukan rezim Assad telah mengintensifkan pengepungan di Ghouta Timur, sehingga hampir tidak mungkin bagi akses makanan ataupun obat-obatan masuk ke distrik tersebut dan mengakibatkan ribuan pasien memerlukan perawatan medis segera.
Ghouta Timur berada dalam jaringan zona de-eskalasi – yang didukung oleh Turki, Rusia dan Iran – di mana tindakan agresi militer dilarang.
Desa-desa di Ghouta Timur terus menjadi sasaran pasukan rezim Assad, meskipun fakta bahwa wilayah-wilayah tersebut termasuk dalam jaringan zona de-eskalasi dimana tindakan agresi militer dilarang.
Rezim Bashar al-Assad, bagaimanapun, telah berulang kali melanggar kesepakatan zona de-eskalasi tersebut dan telah menargetkan wilayah-wilayah pemukiman di
Menjadi rumah bagi sekitar 400.000 penduduk, Ghouta Timur tetap berada di bawah pengepungan rezim yang melumpuhkan selama lima tahun terakhir. Dalam laporan tahunan yang baru saja dirilis, White Helmets menuding bahwa sebanyak 1.337 warga sipil dibunuh di Ghouta Timur pada sepanjang tahun 2017 akibat serangan-serangan yang terus berlanjut oleh pasukan rezim Bashar al-Assad.
Ghouta Timur telah dikepung selama 5 tahun lamanya dan akses kemanusiaan ke kota yang merupakan rumah bagi 400.000 warga sipil tersebut kini telah benar-benar terputus. Ratusan ribu penduduk saat ini sangat membutuhkan bantuan medis.
Dalam 8 bulan terakhir, rezim Bashar al-Assad telah mengintensifkan pengepungan di wilayah Ghouta Timur, sehingga hampir tidak mungkin disalurkannya pasokan makanan dan akses obat-obatan ke distrik tersebut sehingga membuat ribuan pasien dalam kondisi kritis dan memerlukan pengobatan segera.
Selama pembicaraan damai di ibukota Kazakhstan, Astana, tiga negara penjamin, Turki, Iran dan Rusia, sepakat untuk menetapkan zona de-eskalasi di Idlib dan di beberapa bagian Provinsi Aleppo, Latakia dan Hama.
Sejak awal 2011, Suriah telah menjadi medan pertempuran, ketika rezim Assad menumpas aksi protes pro-demokrasi dengan keganasan tak terduga — aksi protes itu 2011 itu adalah bagian dari rentetan peristiwa pemberontakan “Musim Semi Arab” [Arab Spring].
Sejak saat itu, lebih dari seperempat juta orang telah tewas dan lebih dari 10 juta penduduk Suriah terpaksa mengungsi, menurut laporan PBB.
Sementara itu Lembaga Pusat Penelitian Kebijakan Suriah (Syrian Center for Policy Research, SCPR) menyebutkan bahwa total korban tewas akibat konflik lima tahun di Suriah telah mencapai angka lebih dari 470.000 jiwa. [IZ]