JAKARTA, (Panjimas.com) – Agenda sidang lanjutan Jonru sebagai terdakwa di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Timur, Senin (26/2), adalah pembacaan Pledoi. Di persidangan, Jonru tetap pada pendiriannya bahwa dia merasa tidak bersalah, karena dirinya sebagai pendapat Ahli. Sehingga, apa yang diposting di sosial media tidak bisa dikenai delik hukum pidana.
Menurutnya apa yang dilakukannya itu adalah semata memberi peringatan kepada khalayak ramai (masyarakat) tentang bahaya aliran sesat (Syiah). “Demikian pula terhadap orang yang menyampaikan kebenaran berdasarkan kepercayaan agamanya, yakni berdasarkan apa yang bersumber dari Al Quran dan Hadist. Karena itu tidak dapat dikenakan Delik Pidana,” ujar Jonru.
Menurutnya, postingan yang dia lakukan lebih kepada motivasi dan kritik kepada masyarakat dan pemerintah, agar bangsa Indonesia mampu berdiri diatas kaki sendiri (berdikari). Sedangkan Istilah Cina yang dimaksud bukan mengacu kepada etnis Tionghoa yang ada di Indonesia dan mereka telah menjadi Warga Negara Indonesia.
“Berdasarkan Kepres No.12 Tahun 2014, istilah Cina telah diubah menjadi Tionghoa, sehingga tidak ada unsur SARA sedikitpun didalamnya,” katanya.
Tentang banyaknya orang yang menuduh bahwa Islam agama teroris, radikal, anti NKRI, dan sebagainya, itu tidak benar. Adalah sebuah fakta yang tidak terbantahkan, bahwa negara-negara yang mayoritas penduduknya muslim tidak pernah menjajah negara manapun.
“Jadi, sungguh aneh jika Islam dituduh sebagai agama teroris, radikal, dan seterusnya. Tapi lihatlah negara-negara yang muslimnya minoritas, yang terjadi adalah muslimnya tertindas dan teraniaya serta terdzholimi,” jelasnya.
Sedangkan Pledoi dari Tim Kuasa Advokat Muslim yang dibuat oleh Djuju Purwantoro SH, menyampaikan, bahwa Pasal 28 (2) UU ITE adalah norma yang tidak ada dalam UU No.18/2016. Seharusnya pasal 28 (2) UU ITE No.11/2008, yang digunakan dalam dakwaannya sebagai lex specialis, karena pasal 156 KUHP, dan pasal 4b angka 2 UU No.40/2008, adalah lex generalis, sehingga dakwaan ke 2,3 dan 4 tidak dapat diterapkan dan dibuktikan oleh Jaksa JPU.
“Bahwa barang bukti yang tidak dilakukan digital forensik (hanya screen shoot), tidak dapat dijadikan dasar sebagai bukti elektronik yang sah. JPU tidak dapat membuktikan keabsahan barang buktinya, karena tidak bisa mengaksesnya dimuka persidangan,” ujar Djuju Purwantoro.
Bahwa dalam persidangan Jaksa Penuntut Umum tidak bisa membuktikan adanya wujud rasa benci dan permusuhan atas dasar SARA. Menurut Tim Kuasa Hukum, faktanya adalah tidak ada rasa kebencian dan akibat yang ditimbulkan oleh postingan yang dilakukan Jonru berdasarkan SARA dalam masyarakat. [ES]