LONDON (Panjimas.com) — Sekitar 100 warga berunjuk rasa di pusat kota London Kamis (22/02) lalu untuk mendesak masyarakat Inggris dan dunia internasional untuk bertindak menentang pembantaian rezim Bashar al-Assad di Suriah menyusul laporan ratusan kematian warga sipil di Ghouta Timur.
Aksi unjuk rasa ini diorganisir melalui platform media sosial, dimana para pengunjuk rasa kemudian berkumpul di Picadilly Circus meski cuaca dingin menghujam.
Aksi di pusat kota London tersebut berupaya menekankan tindakan brutal dan pembantaian rezim Assad setelah kampanye
pengeboman terbaru yang menargetkan wilayah pemukiman di Ghouta Timur di mana laporan menyebutkan lebih dari 300 warga sipil terbunuh.
Plakat-plakat yang dibawa selama aksi demonstrasi bertuliskan “Down with chemical Assad”, “Save Ghouta” dan “Drop food not bombs”. Ratusan massa tersebut juga mendesak semua negara untuk menerapkan tekanan pada rezim Assad dan para pendukungnya untuk mengakhiri serangan terhadap warga sipil.
Jumlah korban tewas dalam serangan udara rezim Assad, Kamis (22/02) lalu di Distrik Ghouta di Suriah meningkat menjadi 56 jiwa, demikian menurut sumber lokal.
Serangan tersebut dilaporkan menargetkan bagian pemukiman di pinggiran kota Damaskus yang terkepung, termasuk Duma, Aftris dan Hammuria.
Lebih dari 302 orang tewas dalam tiga hari serangan pasukan rezim di Ghouta Timur. Selama tiga hari terakhir, serangan artileri rezim di Ghouta Timur telah menghancurkan 22 pusat kesehatan, sebuah panti asuhan dan sebuah masjid.
Ghouta Timur berada dalam jaringan zona de-eskalasi – yang didukung oleh Turki, Rusia dan Iran – di mana tindakan agresi militer dilarang.
Namun demikian, rezim Assad terus menargetkan bagian pemukiman warga sipil di kota tersebut, sehingga menewaskan sedikitnya 539 jiwa – dan melukai lebih dari 2.000 korban lainnya – sejak 29 Desember tahun 2017 lalu.
Desa-desa di Ghouta Timur terus menjadi sasaran pasukan rezim Assad, meskipun fakta bahwa wilayah-wilayah tersebut termasuk dalam jaringan zona de-eskalasi dimana tindakan agresi militer dilarang.
Rezim Bashar al-Assad, bagaimanapun, telah berulang kali melanggar kesepakatan zona de-eskalasi tersebut dan telah menargetkan wilayah-wilayah pemukiman di
Menjadi rumah bagi sekitar 400.000 penduduk, Ghouta Timur tetap berada di bawah pengepungan rezim yang melumpuhkan selama lima tahun terakhir. Dalam laporan tahunan yang baru saja dirilis, White Helmets menuding bahwa sebanyak 1.337 warga sipil dibunuh di Ghouta Timur pada sepanjang tahun 2017 akibat serangan-serangan yang terus berlanjut oleh pasukan rezim Bashar al-Assad.
Ghouta Timur telah dikepung selama 5 tahun lamanya dan akses kemanusiaan ke kota yang merupakan rumah bagi 400.000 warga sipil tersebut kini telah benar-benar terputus. Ratusan ribu penduduk saat ini sangat membutuhkan bantuan medis.
Dalam 8 bulan terakhir, rezim Bashar al-Assad telah mengintensifkan pengepungan di wilayah Ghouta Timur, sehingga hampir tidak mungkin disalurkannya pasokan makanan dan akses obat-obatan ke distrik tersebut sehingga membuat ribuan pasien dalam kondisi kritis dan memerlukan pengobatan segera.
Selama pembicaraan damai di ibukota Kazakhstan, Astana, tiga negara penjamin, Turki, Iran dan Rusia, sepakat untuk menetapkan zona de-eskalasi di Idlib dan di beberapa bagian Provinsi Aleppo, Latakia dan Hama.
Sejak awal 2011, Suriah telah menjadi medan pertempuran, ketika rezim Assad menumpas aksi protes pro-demokrasi dengan keganasan tak terduga — aksi protes itu 2011 itu adalah bagian dari rentetan peristiwa pemberontakan “Musim Semi Arab” [Arab Spring].
Sejak saat itu, lebih dari seperempat juta orang telah tewas dan lebih dari 10 juta penduduk Suriah terpaksa mengungsi, menurut laporan PBB.
Sementara itu Lembaga Pusat Penelitian Kebijakan Suriah (Syrian Center for Policy Research, SCPR) menyebutkan bahwa total korban tewas akibat konflik lima tahun di Suriah telah mencapai angka lebih dari 470.000 jiwa. [IZ]