RAMALLAH (Panjimas.com) — Pemerintah Palestina mengecam keras keputusan A.S. yang mengungkapkan pemindahan Kedutaannya dari Tel Aviv ke Yerusalem pada bulan Mei mendatang.
Langkah ini “secara langsung dan sengaja melanggar identitas dan eksistensi rakyat Palestina”, tegas pemerintah Palestina dalam pernyataan pada hari Sabtu (24/02), dilansir dari Anadolu.
Pada hari Jumat (23/02), Washington mengatakan bahwa pihaknya siap untuk membuka kedutaan baru di Yerusalem pada tanggal 14 Mei, hari dimana negara Israel didirikan dan secara resmi diakui oleh Washington pada tahun 1948.
Pemerintah Palestina mengatakan tanggal untuk relokasi kedutaan dipilih untuk menyakiti perasaan masyarakat di dunia Arab. “Ini adalah langkah yang tidak dapat diterima,” pungkas Nabil Abu Rudeineh, juru bicara Presiden Palestina Mahmoud Abbas, dalam pernyataannya.
“Langkah sepihak tidak akan memberikan legitimasi kepada siapapun dan akan menghambat upaya untuk mewujudkan perdamaian di kawasan ini,” imbuhnya.
Saeb Erekat, Sekretaris Jenderal Organisasi Pembebasan Palestina (PLO), mengatakan melalui siaran persnya bahwa Trump dan timnya “tidak lagi menjadi bagian dari solusi Israel-Palestina dan telah menjadi bagian dari masalah”.
Pada 6 Desember 2017, Presiden A.S. Donald Trump secara resmi mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel, sehingga memicu kecaman luas di dunia Arab dan Islam serta disambut dengan gelombang aksi demonstrasi di Palestina serta berbagai belahan dunia terutama dunia Arab dan Islam. Bahkan, di wilayah Palestina aksi unjuk rasa berujung bentrokan merenggut puluhan warga Palestina yang dibunuh pasukan Israel.
Kemudian menanggapi hal tersebut, pada tanggal 21 Desember, 128 negara menolak deklarasi Trump di Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa, dan menuntut AS untuk menarik keputusannya tersebut.
Majelis Umum PBB yang beranggotakan 193 negara anggota Kamis malam (21/12) menggelar sidang khusus darurat mengenai keputusan Presiden Amerika Serikat Donald Trump pada 6 Desember lalu. Tidak seperti di Dewan Keamanan, dalam Majelis Umum PBB, A.S. tidak memiliki hak veto.
Sebanyak 128 anggota memilih mendukung resolusi tersebut, 9 negara menolak dan 35 lainnya abstain.Sebagaimana diketahui, 3 hari sebelumnya, AS memveto resolusi Dewan Keamanan PBB – yang mendapat dukungan dari 14 anggota Dewan Keamanan tersebut (baik anggota permanen maupun anggota tidak tetap DK PBB). Resolusi DK PBB itu menyerukan larangan pembentukan misi diplomatik AS di Yerusalem.
Hukum internasional memandang wilayah Tepi Barat – termasuk Yerusalem Timur – sebagai “wilayah yang diduduki” dan menganggap semua bangunan permukiman Yahudi di atas tanah itu adalah tindakan ilegal.
Status Yerusalem telah lama dianggap sebagai isu terakhir yang harus ditentukan dalam perundingan damai Israel-Palestina dan keputusan Trump secara luas dipandang sebagai penghalang kesepahaman sejak lama.
Rancangan resolusi PBB tersebut menegaskan bahwa isu Yerusalem adalah status akhir yang harus diselesaikan melalui perundingan langsung antara Palestina dan Israel, sesuai dengan resolusi Dewan Keamanan yang relevan.
Wilayah Yerusalem Timur berada dalam pendudukan Israel sejak 1967, sementara rakyat Palestina terus berjuang untuk mendeklarasikan Yerusalem sebagai ibukota negaranya.
Yerusalem hingga kini tetap menjadi inti konflik Israel-Palestina selama beberapa dekade, sementara rakyat Palestina tetap memperjuangkan Yerusalem Timur yang diduduki Israel sebagai ibu kota negaranya.
Pada bulan April, Rusia mengumumkan pengakuannya atas Yerusalem Barat sebagai ibukota Israel, yang mengungkapkan harapan bahwa separuh bagian timur kota Yerusalem pada akhirnya dapat berfungsi sebagai ibukota Palestina. Khususnya, dalam pengumumannya pekan lalu, Trump menekankan bahwa pemerintahannya belum mengambil posisi mengenai “batas-batas spesifik kedaulatan Israel di Yerusalem”.[IZ]