JAKARTA, (Panjimas.com) – Menyikapi atas ramainya pemberitaan tentang penangkapan orang orang yang melakukan penyebaran berita bohong (hoax) dan ujaran kebencian akhir akhir ini. Wakil Ketua DPR RI Korpolkam, Dr. Fadli Zon, M.Sc pun angkat bicara. Melalui pesan tertulisnya.
“Saya perihatin atas sejumlah penangkapan yang terjadi belakangan ini. Saya menyimak, kurang dari dua bulan sejak menginjak tahun 2018, Penyidik Direktorat Tindak Pidana Siber Bareskrim Polri telah menangkap 18 tersangka kasus penyebaran berita bohong (hoax) dan ujaran kebencian (hate speech). Dari jumlah itu, 12 di antaranya ditangkap sepanjang bulan Februari ini. Meski menyetujui jika berita bohong dan ujaran kebencian harus dilawan, sesuai ketentuan undang-undang yang berlaku, namun saya tetap prihatin dan menyesalkan atas kejadian tersebut,” ujar Fadli Zon, Jumat (23/2).
Dirinya juga mengatakan bahwa di tengah masyarakat majemuk, ‘hoax’ dan ujaran kebencian memang harus diberantas, karena bisa merusak kerukunan dan kohesi sosial. Tapi ia juga ingin mengingatkan Polri agar membedakan antara ‘hoax’, ujaran kebencian, dengan delik pidana lainnya, seperti pencemaran nama baik dan penghinaan. Jangan sampai delik-delik itu dicampuradukan.
“Peringatan ini harus disampaikan karena penghinaan dan pencemaran nama baik adalah delik aduan, bukan delik pidana umum. Sehingga, Polri tidak boleh melakukan penangkapan begitu saja jika tidak ada pelapornya. Jangan sampai karena yang menjadi korban penghinaan atau pencemaran nama baik tadi adalah elite penguasa, atau elite pendukungnya, misalnya, polisi jadi responsif dan langsung main tangkap saja. Ini harus sama-sama kita koreksi dan awasi,” tutur Waketum DPP Partai Gerindra itu.
Sesuai ketentuan perundangan, beda dengan ujaran kebencian yang bersifat publik dan tanpa aduan, maka yang namanya pencemaran nama baik dan penghinaan adalah kejahatan yang sifatnya individual dan deliknya masuk ke dalam delik aduan. “Seperti yang sudah sering saya sampaikan, keduanya tak boleh dicampuradukan,” ujarnya.
Sebab menurutnya jika hal itu dicampuradukkan, maka akan ada potensi terjadinya pembungkaman kebebasan berekspresi. Sebuah pernyataan yang sebenarnya berisi kritik terhadap seorang pejabat pemerintah, misalnya, jika dianggap sebagai ujaran kebencian maka pelakunya bisa langsung ditangkap begitu saja. “Ini bisa berbahaya bagi iklim demokrasi. Kita tentu tak ingin hal semacam itu terjadi,” katanya lagi.
Fadli juga melakukan sebuah perbandingan, tahun lalu ada sebuah akun media sosial menyebarkan ancaman ‘pembunuhan’ kepada dirinya dan sejumlah nama lain. Apapun motifnya, ancaman semacam itu mestinya masuk ranah pidana umum. Tanpa perlu dilaporkan, polisi bisa langsung memprosesnya.
“Tapi bahkan sesudah saya laporkan sekalipun, dan sudah hampir setahun berlalu, hingga kini kasus itu tidak ada tindak lanjutnya dari kepolisian. Di sisi lain, meskipun saya tidak pernah mendengar ada laporannya, karena terkait dengan pencemaran nama sejumlah elite pendukung pemerintah, misalnya, para pelakunya kemarin cepat sekali ditangkap oleh aparat kepolisian,” bebernya.
Terus terang, perbedaan perlakuan semacam itu menurutnya akan rawan menimbulkan tanda tanya : “polisi kita ini sebenarnya bertindak berdasarkan panduan hukum, ataukah sebenarnya berdasarkan order kekuasaan ?” tanyanya.
Terakhir ia juga menyampaikan bahwa “Saya kira kasus-kasus semacam itu merupakan tantangan sekaligus menjadi batu ujian bagi kepolisian. Saya berharap aparat kepolisian menyadari jika Polri adalah alat negara, dan bukan alat kekuasaan. Untuk itu mereka tidak boleh menerapkan standar ganda dalam pengusutan kasus ‘hoax’, ‘hate speech’, atau SARA di dunia maya,” pungkasnya. [ES]