Depok (Panjimas.com) – Patut disyukuri, Indonesia sebagai bangsa yang majemuk dengan aneka ragam suku dan agama, hingga saat ini tetap utuh dan menjaga kerukunan umat beragama.
“Tidak seperti Afghanistaan yang masih saja berperang,” kata Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) Prof. KH. Ma’ruf Amin dalam Pengajian Ulama Umaro di Aula Gedung Dakwah MUI Kota Depok, Jum’at (24/2/2018) sore.
Urgensi penguatan Islam Washatiyah dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, menjadi tema pengajian yang dihadiri oleh Walikota Depok. Idris Abdul Shomad dan Ketua MUI Kota Depok KH Ahmad Dimyati Badruzzaman.
Dikatakan KH. Ma’ruf Amin, ditengah keragaman, kita mencari titik temu. Pancasila sebagai dasar negara diterima semua pihak, dan tidak bertentangan dengan Islam. Juga Karena itu, Pancasila menjadi jalan tengah diantara keragaman tersebut. Piagam Jakarta yang dibuang tujuh kata, telah dijadikan mukaddimah UUD 45.
“Indonesia memang bukan negara Islam, bukan negara kafir, juga bukan negara perang. Indonesia adalah negara kesepakatan. Diantara kita saling berjanji untuk hidup secara damai, saling menyayangi dan saling tolong menolong,” ungkap KH. Ma’ruf.
Pancasila sebagai bingkai NKRI harus dijaga, agar bangsa ini tetap utuh. Ketika negeri ini mulai tidak aman, ada elemen masyarakat yang saling menjaga. Itulah sebabnya, perspektif negara sangat dibutuhkan.
“MUI menetapkan dirinya berpaham Islam wal jamaah, dengan cara berpikir yang wasathiyah (moderat). Adapun ciri wasathiyah adalah toleran. Meski perbedaan di kalangan umat Islam itu keniscayaan. Karena itu, sesuatu yang bersifat ikhtilaf harus ditoleransi. Tidak boleh ada ego kelompok atau fanatik kelompok.”
KH. Ma’ruf Amin menegaskan, yang ikhtilaf harus ditoleransi, sedangkan yang menyimpang harus diamputasi. “Cara berpikirnya tidak tekstual, juga tidak liberal. Hendaknya kita berada dipertengahan.”
Ketika ada persoalan baru, muncul ijtihad. Kata kiai, hukum bisa saja berubah, mengikuti masanya. Namun, harus diakui, ada kelompok yang tidak berubah sejak dulu. Tapi ada juga kelompok liberal yang berubah kapan saja tanpa batasan.
“Idealnya adalah moderat, tidak statis, dan dinamis. Imam mahzab pun ada yang berbeda pendapat. Selama bermanhaj dengan empat Imam mazhab, itu tidak persoalan. Termasuk soal qunut atau tidak. Maka, perbedaan yang masih berada di wilayah ikhtilaf, tidak perlu dipertentangkan. Sebagai umat Islam, kita menghindari hal-hal yang berpotensi konflik.
Dalam Islam yang washatiyah bisa terjadi perbedaan, sepanjang ada batasannya. Di tengah keragaman dan perbedaan itu, Kiai mengajak umat Islam Indonesia agar mencari titik temu, membuat kesepakatan-kesepakatan untuk menjaga bangsa ini tetap utuh. Meski berbeda pandangan, masing-masing kelompok harus tetap tawadu, saling mencintai dan menyayangi, tidak boleh saling membenci.
“Itulah sebabnya perlu ada pengaturan rumah ibadah, berdasarkan kesepakatan majalis-majelis agama. MUI sendiri telah mengambil langkah antisipasi, dengan membentuk Komisi Kerukunan Umat Beragama, dari atas hingga bawah.” (des)