JAKARTA, (Panjimas.com) – Anda mungkin pernah mendengar pernyataan begini. Bahwa Imlek itu hanyalah tradisi dan bukan bagian ajaran agama tertentu. Karenanya umat Islam khususnya yang beretnis Tionghoa boleh-boleh saja merayakan Imlek. Benarkah Imlek hanya tradisi dan tidak ada hubungan dengan keyanikan keimanan? Apakah boleh muslim turut merayakan Imlek?
Maka menjawab pertanyaan diatas, pihak Panjimas pada hari Kamis (15/2) menerima tulisan panjang dari ustadz Shiddiq al Jawi yang berusaha untuk menjelaskan persoalan ini kepada umat Islam, dengan menelaah ajaran agama Khonghuchu, serta menelaah hukum syariah Islam yang terkait dengan keterlibatan kaum muslimin dalam perayaan hari raya agama lain.
Memang tak jarang kita dengar dari orang Tionghoa, termasuk tokoh-tokohnya yang sudah masuk Islam, bahwa Imlek itu sekedar tradisi.Tidak ada hubungannya dengan ajaran suatu agama, sehingga umat Islam boleh turut merayakannya.
Sebagai contoh adalah, Sekretaris Umum DPP PITI (Pembina Iman Tauhid Islam), H. Budi Setyagraha (Huan Ren Cong), pernah menyatakan bahwa Imlek adalah tradisi menyambut tahun baru penanggalan Cina, datangnya musim semi, dan musim tanam di daratan Cina. H. Budi Setyagraha berkata kalo imlek bukan perayaan agama.”Rayakan Imlek tapi Jangan Berlebihan” kata Budi saat itu.
Menurut Ustd Shoddiq al Jawi, jika kita mendalami agama Khonghucu, lebih khususnya mengenai hari-hari rayanya, akan terbukti bahwa pernyataan tersebut tidak benar. Sebab sebenarnya Imlek adalah bagian integral dari ajaran agama Khonghucu, bukan semata-mata tradisi.
Dalam bukunya “Mengenal Hari Raya Konfusiani” penulisnya, Hendrik Agus Winarso menyebutkan bahwa masyarakat kurang memahami Hari Raya Konfusiani. Kata beliau mencontohkan,”Misalnya Tahun Baru Imlek dianggap sebagai tradisi orang Tionghoa.” Dengan demikian, pandangan bahwa Imlek adalah sekedar tradisi, yang tidak ada hubungannya dengan agama, menurut penulis buku tersebut, adalah suatu kesalahpahaman.
Dalam bukunya, Hendrik Agus Winarso telah membuktikan dengan meyakinkan bahwa Imlek adalah bagian ajaran Khonghucu yang ada. Agus Winarso menerangkan, Tahun Baru Imlek atau disebut juga Sin Cia, merupakan momentum untuk memperbarui diri. Momentum ini, kata beliau, diisyaratkan dalam salah satu kitab suci Khonghucu, yaitu Kitab Lee Ki, bagian Gwat Lin.
Penulis buku tersebut lalu menyimpulkan Imlek adalah bagian ajaran Khonghucu. Beliau mengatakan:
Dengan demikian, menyambut Tahun Baru bagi umat Khonghucu Indonesia mengandung arti ketakwaan dan keimanan.
Maka menurut beliau, tidaklah benar pendapat yang menyebutkan bahwa Imlek hanya sekedar tradisi orang Tionghoa, atau Imlek hanya bukan perayaan agama. Yang benar, Imlek justru adalah bagian ajaran agama Khonghucu, bukan sekedar tradisi.
“Lagi pula, harus kami tambahkan bahwa boleh tidaknya seorang muslim melakukan sesuatu, tidaklah dilihat apakah sesuatu itu berasal dari tradisi atau ataukah dari agama. Seakan-akan kalau berasal dari tradisi hukumnya boleh-boleh saja dilakukan, sementara kalau dari agama lain hukumnya tidak boleh,” ujar ustadz Shoddiq.
Standar semacam itu sungguh batil dan tidak ada di dalam Islam. Karena standar yang benar menurut Islam, adalah Al-Qur`an dan As-Sunnah. Allah SWT berfirman :
“Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu dan janganlah kamu mengikuti pemimpin-pemimpin selain-Nya.” (QS Al-A’raaf : 3).
“Jadi suatu perbuatan itu boleh atau tidak boleh dilakukan, tolok ukurnya adalah Al-Quran dan As-Sunnah. Apa saja yang benar menurut Al-Quran dan As-Sunnah, berarti boleh dikerjakan. Sebaliknya apa saja yang batil menurut Al-Quran dan As-Sunnah, berarti tidak boleh dilakukan,” beber ustd Shoddiq.
Maka menurutnya jika kalau kita hendak menilai perbuatan muslim turut merayakan Imlek menurut Islam, tolok ukurnya harus benar. Yaitu harus kita lihat adalah apakah perbuatan itu boleh atau tidak menurut Al-Qur`an dan As-Sunnah, bukan melihat apakah Imlek itu dari tradisi atau dari agama.
“Sungguh kalau seorang muslim menggunakan tolok ukur tadi, yaitu melihat sesuatu itu dari tradisi atau agama, ia akan tersesat. Sebab suatu tradisi tidak selalu benar, adakalanya ia bertentangan dengan Islam dan adakalanya sesuai dengan Islam. Contoh, free sex pada masyarakat Barat yang Kristen. Free sex jelas telah menjadi tradisi Barat, meski perbuatan kotor itu bukan bagian agama Kristen/Katholik, karena agama ini pun mengharamkan zina. Lalu, apakah karena free sex itu sekedar tradisi, dan bukan agama, lalu umat Islam boleh melakukannya? Jelas tetap tidak boleh, bukan?” urai ustad Shoddiq.
Walhasil, mari kita gunakan barometer yang benar untuk menilai suatu perbuatan. Barometernya, bukan dilihat dari segi asalnya apakah suatu perbuatan itu dari tradisi atau agama, melainkan dilihat dari segi boleh tidaknya perbuatan itu menurut Al-Qur`an dan As-Sunnah. Inilah pandangan yang haq, tidak ada yang lain.
“Berdasarkan dalil-dalil Al-Qur`an dan As-Sunnah, haram hukumnya seorang muslim turut merayakan hari raya agama lain, termasuk Imlek, baik dengan mengikuti ritual agamanya maupun tidak, termasuk juga memberi ucapan selamat : Gong Xi Fat Chai dan itu semuanya haram,” pungkasnya. [ES]