GAZA, (Panjimas.com) – Puluhan Ilmuwan Muslim Palestina menggelar aksi demonstrasi di Jalur Gaza, hari Ahad (11/02) lalu dalam rangka memprotes krisis energi parah yang memakan korban para pasien di rumah-rumah sakit Palestina.
Para pengunjuk rasa, berkumpul di luar sebuah rumah sakit di kota Gaza Timur, menyerukan upaya-upaya untuk mencegah jatuhnya pelayanan sektor kesehatan di Gaza.
“Penutupan rumah-rumah sakit mendorong masyarakat dunia untuk berdiri membela rakyat Palestina,”pungkas Nasim Yasin, Wakil Ketua Palestinian Scholars League, organisasi mengorganisir aksi demonstrasi tersebut, dikutip dari AA.
Yasin menuntut pemerintah Palestina “untuk memikul tanggung jawabnya dan membuka kembali rumah-rumah sakit dan memberikan mereka pasokan listrik dan medis”.
Nasim Yasin mendesak Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dan kelompok-kelompok hak asasi manusia untuk membela rakyat Palestina dan menyelesaikan permasalahan krisis energi di Jalur Gaza”.
Wilayah Jalur Gaza menderita kekurangan energi yang melumpuhkan, dimana para penduduknya hanya menerima beberapa jam pasokan tenaga listrik per harinya.
Krisis energi listrik memaksa beberapa rumah sakit dan pusat kesehatan untuk menangguhkan pelayanan medis mereka kepada pasien dalam beberapa hari terakhir.
Pekan lalu, Kantor PBB untuk Koordinasi Urusan Kemanusiaan (OCHA) memperingatkan bahwa krisis energi akut di Jalur Gaza mendorong wilayah Palestina di ambang bencana kemanusiaan.
Meskipun Jalur Gaza membutuhkan sekitar 600 megawatt listrik, saat ini rakyat Gaza hanya menerima 120 megawatt dari Israel dan 32 megawatt lainnya dari Mesir.
Dengan tarif listrik saat ini, rumah sakit membutuhkan 500 liter (132 galon) bahan bakar per harinya untuk mengoperasikan generator dan menjaga layanan medis tetap berjalan.
Cuaca dingin di Gaza juga menyebabkan lonjakan permintaan listrik dan bahan bakar yang digunakan untuk pembangkit listrik.
Pembangkit listrik tunggal Gaza, sementara itu, hanya mampu menghasilkan 60 megawatt listrik, menurut Otoritas Energi Palestina.
Israel tetap mempertahankan operasi pengepungannya di Gaza selama satu dekade dengan dalih membatasi pergerakan Hamas, gerakan perlawanan rakyat Palestina yang mengendalikan wilayah Jalur Gaza dan telah berjuang dalam 3 peperangan sejak tahun 2008.
Barang dan perlengkapan seperti bahan bakar yang tidak termasuk dalam daftar larangan Israel diperbolehkan masuk melalui salahs satu persimpangan dari Israel ke Gaza.
Otoritas Palestina, yang berbasis di Tepi Barat yang diduduki Israel, baru-baru ini juga sepakat untuk mengakhiri pemotongan pembayaran listrik untuk Gaza
Mesir juga tetap menutup perbatasannya dengan Gaza dalam beberapa tahun terakhir, namun mengizinkan pasokan bahan bakar untuk diimpor.
April 2017 lalu, pemerintah Palestina berhenti membayar pasokan listrik ke Jalur Gaza, yang saat itu pemerintahan dijalankan oleh Hamas.
Wilayah Jalur Gaza menjadi rumah bagi lebih dari 2 juta warga Palestina, sementara daerah pesisir yang diblokade itu terus mengalami krisis listrik yang melumpuhkan kehidupan warganya.
Kekurangan pasokan energi kronis kemudian memaksa pihak berwenang setempat untuk mengadopsi sistem “rotasi” sementara dimana pasokan listrik dipangkas di beberapa bagian Wilayah Jalur Gaza sehingga memungkinkan disediakan listrik di tempat lainnya.
Israel saat ini menyediakan pasokan listrik Jalur Gaza sejumlah 120 Mega Watt listrik, sementara Mesir menyediakannya sekitar 32 Mega Watt lainnya.
Untuk diketahui, Pembangkit listrik satu-satunya di Gaza mampu menghasilkan hanya sekitar 60 Mega Watt, demikian menurut Otoritas Energi Palestina.
Israel telah mempertahankan operasi blokade militernya wilayah itu, selama 10 tahun terakhir, dam membatasi masuknya barang-barang dan melumpuhkan perekonomian Gaza.
Pada tahun 2015, pembangkit listrik satu-satunya di Gaza ditutup selama beberapa minggu karena pajak yang belum dibayar. Selain itu pembangkit listrik Gaza juga rusak parah, akibat dihancurkan oleh serangan Israel pada tahun 2006.
Salah satu alasan otoritas energi hanya memiliki sedikit pendanaan atas pembangkit listrik dikarenakan tagihan-tagihan yang belum dibayar. Hampir 70 persen rumah tangga penduduk Gaza tidak mampu membayar tagihan listrik mereka, karena kemiskinan, demikian menurut laporan PBB.[IZ]