ISTANBUL, (Panjimas.com) – Myanmar mengungkapkan rencanya untuk membawa kembali 750.000 penduduk Muslim Rohingya yang kini sedang berlindung di wilayah Bangladesh dalam 2 tahun ke depan, demikian menurut pernyataan Duta Besar Bangladesh untuk Turki, Selasa (06/02).
Saat diwawancarai Anadolu di Istanbul, Duta Besar Allama Siddiki mengatakan, “kini terdapat sebuah kelompok kerja sama antara Bangladesh dan Myanmar. Kami sepakat dengan Myanmar bahwa mereka akan segera memulai repatriasi (pemulangan kembali). ”
Siddiki menambahkan: “Dalam 2 tahun dari sekarang Myanmar akan memulangkan kembali hampir 750.000 pengungsi Rohingya di Bangladesh.”
Awal bulan ini, Bangladesh dan Myanmar menyelesaikan sebuah kesepakatan mengenai pengaturan fisik untuk pemulangan Rohingya dan setuju untuk mengirim 100.000 pengungsi Rohingya kembali ke Myanmar pada tahap pertama.
Proses tersebut akan memakan waktu lama dengan Myanmar yang menyetujui untuk menerima 1.500 penduduk Rohingya tiap pekannya dengan tujuan untuk memulangkan kembali lebih dari 700.000 penduduk dalam kurun waktu 2 tahun ke depan.
Para pengungsi Rohingya tersebut pertama-tama akan ditempatkan di “kamp sementara” di bawah kendali Myanmar dan kemudian menetap di sebuah wilayah di Myanmar.
Allama Siddiki menyambut baik upaya bantuan Turki dan sikapnya mengenai krisis kemanusiaan di Myanmar.
Turki Menyoal Rohingya
“Setelah krisis ini dimulai pada bulan Agustus 2017, Presiden Republik Turki Yang Mulia Recep Tayyip Erdogan adalah pemimpin Muslim pertama yang keluar dengan segenap kekuatannya dalam mengadvokasi solusi dari masalah ini”, ujar Dubes Allama Siddiki.
“Kami sangat menghargai isyarat tersebut, reaksi Turki dan masyarakatnya terhadap masalah ini”, pungkasnya,
Duta Besar Bagladesh di Istanbul itu juga memuji Turki karena menjadi sebuah negara, yang menampung jumlah pengungsi terbesar di dunia saat ini.
“Kami juga sangat menghargai bahwa Turki adalah negara penampungan pengungsi terbesar di dunia hari ini,” jelasnya.
“Itu adalah semacam pelajaran yang harus dipelajari semua orang di dunia tentang bagaimana membantu orang-orang yang membutuhkan”, imbuhnya.
Konsulat Jenderal Bangladesh di Istanbul Mohammad Monirul Islam memuji media Turki atas kontribusinya yang bertanggung jawab dan bijaksana terhadap krisis pengungsi di dunia.
“Peran konstruktif dan afirmatif media di Turki ini telah memberi dimensi internasional pada masalah ini,” ungkap Monirul Islam.
Etnis Rohingya, digambarkan oleh PBB sebagai etnis yang paling teraniaya dan tertindas di dunia, Mereka telah menghadapi ketakutan tinggi akibat serangan pasukan Myanmar dan para ektrimis Buddha.
Sedikitnya 9.000 Rohingya dibantai di negara bagian Rakhine mulai 25 Agustus hingga 24 September, demikian menurut laporan Doctors Without Borders [MSF].
Dalam laporan yang diterbitkan pada 12 Desember lalu, organisasi kemanusiaan global itu mengatakan bahwa kematian 71,7 persen atau 6.700 Muslim Rohingya disebabkan oleh kekerasan. Diantara para korban jiwa itu, termasuk 730 anak di bawah usia 5 tahun.
Dilaporkan bahwa lebih dari 647.000 penduduk Rohingya terpaksa menyeberang dari Myanmar ke Bangladesh sejak 25 Agustus 2017 ketika Tentara Myanmar melancarkan tindakan brutal dan kejam terhadap Minoritas Muslim itu,,] sementara itu menurut angka PBB, jumlahnya adalah 656.000 jiwa.
Para pengungsi Rohingya tersebut melarikan diri dari operasi militer brutal Myanmar yang telah melihat pasukan militer dan massa ektrimis Budhdha membunuhi pria, wanita dan anak-anak, bahkan menjarah rumah-rumah dan membakar desa-desa Muslim Rohingya.
Laporan MSF
“Kami bertemu dan berbicara dengan para korban kekerasan di Myanmar, yang sekarang berlindung di kamp-kamp [pengungsian] yang padat dan tidak sehat di Bangladesh,” jelas MSF.
“Apa yang kami temukan sangat mengejutkan, baik dari segi jumlah orang yang melaporkan seorang anggota keluarganya yang meninggal akibat kekerasan, dan cara-cara mengerikan yang mereka katakan mereka dibunuh atau terluka parah.”
Puncak kematian tersebut bertepatan dengan peluncuran “operasi pembersihan” terbaru oleh pasukan Militer Myanmar pada pekan terakhir bulan Agustus, kata Dr. Sidney Wong, Direktur Medis Doctors Without Borders (MSF).
“Penembakan menyebabkan 69 persen insiden kekerasan, terkait dengan kematian, diikuti dengan aksi pembakaran sampai korban mati di rumah-rumah mereka (9 persen) serta dipukuli sampai mati (5 persen).
“Di antara anak-anak di bawah usia 5 tahun, lebih dari 59 persen yang dibunuh dalam periode tersebut dilaporkan ditembak mati, 15 persen dibakar sampai mati di rumah-rumah mereka, 7 persen dipukuli sampai mati, dan 2 persen meninggal dunia karena ledakan ranjau darat”, pungkasnya.
Sidney Wong. mengatakan bahwa penandatanganan sebuah kesepakatan untuk kembalinya para pengungsi antara pemerintah Myanmar dan Bangladesh adalah tindakan “prematur”.
Rohingya seharusnya tidak dipaksa untuk kembali, terkait keamanan dan hak-hak mereka perlu dijamin sebelum rencana semacam itu dapat dipertimbangkan secara serius, imbuhnya.
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menuding Myanmar mengizinkan pasukan militernya untuk terlibat dalam operasi pembersihan etnis terhadap Muslim Rohingya.
Badan-Badan bantuan kemanusiaan telah memperingatkan bahwa ada kekhawatiran nyata bahwa anak-anak yang rentan tersebut dapat menjadi korban-korban pelecehan ataupun perdagangan manusia.
Para pengungsi Rohingya melarikan diri dari operasi militer di Myanmar di mana tentara dan gerombolan ektrimis Buddha membunuh laki-laki, perempuan dan anak-anak Rohingya, menjarah rumah-rumah mereka dan membakar desa-desa Muslim Rohingya.
Ini adalah gerakan “terbesar dan tercepat” dari populasi sipil di Asia sejak tahun 1970an, demikian pernyataan PBB.
Beberapa pakar PBB beberapa pekan lalu mengeluarkan pernyataan bersama yang mendesak pemerintah Myanmar untuk menghentikan “semua kekerasan terhadap minoritas Muslim Rohingya dan menghentikan penganiayaan yang sedang berlangsung serta berbagai pelanggaran hak asasi manusia yang serius”.
Seruan yang dibuat oleh 7 pelapor khusus PBB yang menangani hak asasi manusia tersebut muncul di laman situs resmi Kantor Komisaris Tinggi Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa (OHCHR).
Pakar PBB menyatakan terdapat berbagai tuduhan yang kredibel atas pelanggaran hak asasi manusia dan pelanggaran serius. Para ahli juga mengatakan Myanmar harus memberikan “akses kemanusiaan secara bebas” kepada organisasi internasional untuk membantu pengungsi di internal Rakhine.
Pernyataan bersama tersebut juga menyebutkan bahwa pelanggaran hak asasi manusia itu mencakup pembunuhan di luar hukum, penggunaan kekerasan, perlakuan sewenang-wenang dan perlakuan sewenang-wenang yang berlebihan, kekerasan seksual dan berbasis gender, dan penculikan paksa, “serta pembakaran dan penghancuran lebih dari 200 desa-desa Rohingya dan puluhan ribu rumah “.
Menurut Menteri Luar Negeri Bangladesh Abul Hasan Mahmood Ali, sekitar 3.000 orang Rohingya tewas dibantai dalam tindakan brutal Militer Myanmar, pada bulan September lalu.[IZ]