JAKARTA, (Panjimas.com) – Kepala Badan Hak Asasi Manusia PBB Senin (05/02) lalu memperingatkan bahwa penganiayaan Myanmar terhadap Muslim Rohingya berpotensi menimbulkan konflik regional.
Dalam kunjungannya ke Indonesia, Zeid Ra’ad al-Hussein, Komisaris Tinggi PBB untuk hak asasi manusia, mengatakan bahwa tindakan genosida dan pembersihan etnis barangkali terjadi selama operasi brutal Myanmar terhadap minoritas Rohingya.
“Myanmar menghadapi krisis yang sangat serius – dengan dampak yang berpotensi parah terhadap keamanan kawasan ini,” pungkas Zeid dalam pidatonya di Jakarta, dilansir dari Anadolu.
“Jika krisis Rohingya memicu konflik yang lebih luas berdasarkan identitas keagamaan, perselisihan selanjutnya bisa menjadi penyebab ketakutan besar,” tandasnya.
Zeid Ra’ad al-Hussein mengakui adanya diskriminasi dan kekerasan yang terus berlanjut terhadap Rohingya, yang menghadapi masalah dalam hal status kewarganegaraan, status hukum dan akte kelahiran, pendidikan, dan pekerjaan.
Zeid mengkritik kurangnya perhatian terkait pelanggaran hak asasi manusia di negara bagian Rakhine Myanmar dari para pemangku kebijakan regional dan internasional.
Ia mendesak pemerintah Myanmar untuk mengakui secara resmi diskriminasi secara kelembagaan yang dilakukan terhadap etnis minoritas, dan bukannya “mempertahankan narasinya bahwa isu-isu inti adalah tentang pengembangan dan persaingan untuk mendapatkan sumber daya.”
Etnis Rohingya, digambarkan oleh PBB sebagai etnis yang paling teraniaya dan tertindas di dunia, Mereka telah menghadapi ketakutan tinggi akibat serangan pasukan Myanmar dan para ektrimis Buddha.
Sedikitnya 9.000 Rohingya dibantai di negara bagian Rakhine mulai 25 Agustus hingga 24 September, demikian menurut laporan Doctors Without Borders [MSF].
Dalam laporan yang diterbitkan pada 12 Desember lalu, organisasi kemanusiaan global itu mengatakan bahwa kematian 71,7 persen atau 6.700 Muslim Rohingya disebabkan oleh kekerasan. Diantara para korban jiwa itu, termasuk 730 anak di bawah usia 5 tahun.
Dilaporkan bahwa lebih dari 647.000 penduduk Rohingya terpaksa menyeberang dari Myanmar ke Bangladesh sejak 25 Agustus 2017 ketika Tentara Myanmar melancarkan tindakan brutal dan kejam terhadap Minoritas Muslim itu,,] sementara itu menurut angka PBB, jumlahnya adalah 656.000 jiwa.
Para pengungsi Rohingya tersebut melarikan diri dari operasi militer brutal Myanmar yang telah melihat pasukan militer dan massa ektrimis Budhdha membunuhi pria, wanita dan anak-anak, bahkan menjarah rumah-rumah dan membakar desa-desa Muslim Rohingya.
Laporan MSF
“Kami bertemu dan berbicara dengan para korban kekerasan di Myanmar, yang sekarang berlindung di kamp-kamp [pengungsian] yang padat dan tidak sehat di Bangladesh,” jelas MSF.
“Apa yang kami temukan sangat mengejutkan, baik dari segi jumlah orang yang melaporkan seorang anggota keluarganya yang meninggal akibat kekerasan, dan cara-cara mengerikan yang mereka katakan mereka dibunuh atau terluka parah.”
Puncak kematian tersebut bertepatan dengan peluncuran “operasi pembersihan” terbaru oleh pasukan Militer Myanmar pada pekan terakhir bulan Agustus, kata Dr. Sidney Wong, Direktur Medis Doctors Without Borders (MSF).
“Penembakan menyebabkan 69 persen insiden kekerasan, terkait dengan kematian, diikuti dengan aksi pembakaran sampai korban mati di rumah-rumah mereka (9 persen) serta dipukuli sampai mati (5 persen).
“Di antara anak-anak di bawah usia 5 tahun, lebih dari 59 persen yang dibunuh dalam periode tersebut dilaporkan ditembak mati, 15 persen dibakar sampai mati di rumah-rumah mereka, 7 persen dipukuli sampai mati, dan 2 persen meninggal dunia karena ledakan ranjau darat”, pungkasnya.
Sidney Wong. mengatakan bahwa penandatanganan sebuah kesepakatan untuk kembalinya para pengungsi antara pemerintah Myanmar dan Bangladesh adalah tindakan “prematur”.
Rohingya seharusnya tidak dipaksa untuk kembali, terkait keamanan dan hak-hak mereka perlu dijamin sebelum rencana semacam itu dapat dipertimbangkan secara serius, imbuhnya.
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menuding Myanmar mengizinkan pasukan militernya untuk terlibat dalam operasi pembersihan etnis terhadap Muslim Rohingya.
Badan-Badan bantuan kemanusiaan telah memperingatkan bahwa ada kekhawatiran nyata bahwa anak-anak yang rentan tersebut dapat menjadi korban-korban pelecehan ataupun perdagangan manusia.
Para pengungsi Rohingya melarikan diri dari operasi militer di Myanmar di mana tentara dan gerombolan ektrimis Buddha membunuh laki-laki, perempuan dan anak-anak Rohingya, menjarah rumah-rumah mereka dan membakar desa-desa Muslim Rohingya.
Ini adalah gerakan “terbesar dan tercepat” dari populasi sipil di Asia sejak tahun 1970an, demikian pernyataan PBB.
Beberapa pakar PBB beberapa pekan lalu mengeluarkan pernyataan bersama yang mendesak pemerintah Myanmar untuk menghentikan “semua kekerasan terhadap minoritas Muslim Rohingya dan menghentikan penganiayaan yang sedang berlangsung serta berbagai pelanggaran hak asasi manusia yang serius”.
Seruan yang dibuat oleh 7 pelapor khusus PBB yang menangani hak asasi manusia tersebut muncul di laman situs resmi Kantor Komisaris Tinggi Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa (OHCHR).
Pakar PBB menyatakan terdapat berbagai tuduhan yang kredibel atas pelanggaran hak asasi manusia dan pelanggaran serius. Para ahli juga mengatakan Myanmar harus memberikan “akses kemanusiaan secara bebas” kepada organisasi internasional untuk membantu pengungsi di internal Rakhine.
Pernyataan bersama tersebut juga menyebutkan bahwa pelanggaran hak asasi manusia itu mencakup pembunuhan di luar hukum, penggunaan kekerasan, perlakuan sewenang-wenang dan perlakuan sewenang-wenang yang berlebihan, kekerasan seksual dan berbasis gender, dan penculikan paksa, “serta pembakaran dan penghancuran lebih dari 200 desa-desa Rohingya dan puluhan ribu rumah “.
Menurut Menteri Luar Negeri Bangladesh Abul Hasan Mahmood Ali, sekitar 3.000 orang Rohingya tewas dibantai dalam tindakan brutal Militer Myanmar, pada bulan September lalu.[IZ]