Jakarta (Panjimas.com) — Komite Tolak Penggusuran (KTP) – Kapuk Poglar dalam siaran persnya, Kamis (8/2/2018) menuntut Polda Metro Jaya untuk menghentikan rencana Eksekusi (Penggusuran paksa) di RT 07 RW 04, Kapuk Poglar.
KTP juga menuntut Polda Metro Jaya untuk menghentikan segala bentuk intimidasi dan teror yang dilakukan oleh aparat kepolisian maupun aparat negara lainnya kepada warga Kapuk Poglar.
Komite meminta Gubernur DKI Jakarta untuk memberikan perlindungan hukum dan sosial kepada Warga Kapuk Poglar RT.07 RW.04 dari rencana penggusuran paksa oleh Polda Metro Jaya.
“Gubernur DKI Jakarta harus menghentikan seluruh skema penggusuran, penataan, reklamasi atas nama pembangunan yang merugikan rakyat DKI Jakarta. Berikan seluruh hak dasar, jaminan kehidupan yang layak, dan akses terhadap fasilitas publik terhadap warga Kapuk Poglar dan seluruh warga DKI Jakarta.”
KTP juga memohon kepada Presiden Republik Indonesia untuk menjamin tidak adanya penggusuran paksa dan perampasan tanah rakyat. Laksanakan Reforma Agraria Sejati.
“Selain itu, kami juga menyerukan kepada seluruh rakyat DKI Jakarta dan rakyat tertindas di Indonesia untuk terus membangun persatuan yang kuat dan melawan segala bentuk perampasan hak dasar rakyat.”
Komite Tolak Penggusuran (KTP) – Kapuk Poglar, merupakan gabungan sejumlah elemen masyarakat, meliputi: Forum Warga Kapuk Poglar, Gabungan Serikat Buruh Indonesia (GSBI) Jakarta, Aliansi Gerakan Reforma Agraria (AGRA), Keluarga Besar Buruh Migran Indonesia (KABAR BUMI), Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi (LMND), Front Nasional (FN) UNAS, Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) Jakarta Selatan.
Juga bergabung Aksi Kaum Muda Indonesia (AKMI), Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) UNAS, Front Mahasiswa Nasional (FMN), Serikat Pemuda Jakarta (SPJ), Serikat Perempuan Indonesia (SERUNI), Lembaga Bantuan Hukum Jakarta (LBH Jakarta), Forum Kampung Kota, Ciliwung Merdeka, Institute for Ecosoc Rights, Urban Poor Consortium (UPC), Jaringan Rakyat Miskin Kota (JRMK), dan Serikat Becak Jakarta (Sebaja).
Dalam pernyataan sikap bersama itu, Komite Tolak Penggusuran-Kapuk Poglar menilai, penggusuran rumah rakyat baik di perdesaan maupun perkotaan semakin intensif dijalankan oleh pemerintah di bawah komando rezim Joko Widodo.
Atas nama pembangunan, pengelolaan tata ruang, normalisasi sungai, hingga pembangunan Smart City menjadi dalih utama untuk menggusur permukiman rakyat. Kondisi tersebut banyak terjadi di kota-kota besar, khususnya di DKI Jakarta. Jakarta terus menjelma menjadi kota yang tidak lagi ramah kepada rakyat miskin.
Penggusuran
Sejak 2016 menurut rilis yang dikeluarkan oleh LBH Jakarta terdapat 325 titik yang akan menjadi sasaran penggusuran di wilayah DKI Jakarta. Salah satu yang kini mengemuka adalah kasus rencana penggusuran yang dialami oleh rakyat di Kapuk Poglar, Kel. Kapuk, Jakarta Barat.
Sejak tahun 2016 lalu hingga saat ini, warga Kapuk Poglar RT 07 RW 04 kembali terancam untuk digusur. Acaman tersebut sesungguhnya telah terjadi berulang kali sejak tahun 1995, 1997, dan 2002. Dalam hal ini, ancaman penggusuran tersebut lahir dari Kepolisian Daerah Metro Jaya (Polda Metro Jaya).
Polda Metro Jaya berencana untuk membangun Asrama Polri (dua tower) dengan alas hukum Sertifikat Hak Pakai di atas tanah seluas 15.900 meter yang ditempati oleh 166 Kepala Keluarga (KK) dengan 641 jiwa.
Dalam sejarahnya, warga Kapuk Poglar telah menempati kawasan tersebut sejak tahun 1970. Warga membangun kawasan yang semula adalah rawa-rawa secara swadaya. Selain itu, secara reguler warga pun selalu membayar PBB, mendapatkan KTP, dan Kartu Keluarga dari pemerintah setempat.
Warga mendiami tempat tersebut atas izin pemilik tanah atas nama Emah Sarijah dan Epen yang secara sah memiliki Girik. Namun demikian Polda Metro Jaya tetap bersikukuh untuk melakukan penggusuran paksa terhadap warga.
Melalui Surat Peringatan dan Spanduk ancaman yang menyatakan warga untuk segera mengosongkan pemukimannya karena pada 8 Februari 2018 akan dilakukan eksekusi merupakan sebuah bentuk intimidasi dan teror yang nyata terhadap warga.
Dalam hal ini, Polda Metro Jaya juga mengangkangi hukum yang berlaku. Jika merujuk pada ketentuan UU No. 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria (UUPA), sesungguhnya keberadaan warga yang berpuluh tahun menempati lahan tersebut dengan itikad baik sangat dilindungi dan seharusnya diutamakan untuk mendapatkan hak atas tanah tersebut.
Meskipun Polda Metro Jaya mengklaim tanah atas dasar Sertifikat Hak Pakai yang terbit pada tahun 1994, namun secara de facto Polda tidak pernah menggunakan lahan tersebut. Jika demikian, sekalipun Polda Metro Jaya memiliki klaim atas tanah tersebut seharusnya dapat dibatalkan lantaran pihaknya telah menelantarkan tanah tersebut sesuai ketentuan Pasal 27 UUPA.
Tidak sampai disitu, demi memuluskan programnya Polda Metro Jaya terus melakukan intimidasi yang semakin kuat dan meneror rakyat. Berkali-kali pasukan aparat kepolisian datang dengan jumlah yang banyak, melakukan apel di tempat, memamerkan barisan pengendara motor yang membentuk formasi, hingga membawa senjata laras panjang.
Hal tersebut tidak sedikit warga khususnya Lansia mengalami shock hingga sakit akibat ketakutan. Selain itu, aparat kepolisian juga merampas Handphone milik salah satu warga yang merekam kedatangan mereka tersebut. Bahkan secara langsung, mereka menuding warga telah melakukan penyerobotan tanah di kapuk Poglar. Hal-hal tersebut menunjukan watak asli dari aparat kepolisian yang mengabdikan dirinya pada pemerintahan yang fasis.
Polda Metro Jaya sesungguhnya tidak memiliki kewenangan untuk mengeksekusi secara langsung tanah yang diduduki warga. Berdasarkan Pasal 195 dan 196 HIR, kewenangan eksekusi hanya dimiliki oleh Pengadilan. Apabila eksekusi secara langsung dilakukan oleh Polda Metro Jaya, hal tersebut merupakan tindakan main hakim sendiri dan bentuk pelanggaran hukum.
Selain itu, hak rakyat atas hidup dan temapt tinggal yang layak merupakan hak yang tidak bisa ditawar atau diabaikan. Hak tersebut telah diatur secara tegas dalam Pasal 28H ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 telah dijamin bahwa “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh layanan kesehatan.”
Tindakan Polda Metro Jaya dalam kasus ini dengan melakukan rencana eksekusi dan penggusuran paksa tanpa mempertimbangkan pemenuhan hak dasar rakyat atas tempat tinggal dan kehidupan yang layak merupakan bentuk pelanggaran HAM berat. Hal tersebut juga telah diatur dalam Resolusi Komisi HAM PBB Nomor 2004/28 tentang Larangan Penggusuran Paksa.
Kasus yang terjadi di Kapuk Poglar merupakan kenyataan bahwa pemerintah baik pusat maupun daerah serta berbagai institusinya memang tidak pernah berpihak pada rakyat. Rakyat terus menjadi sasaran penghisapan dan penindasan.
Rakyat tidak anti terhadap pembangunan dan kemajuan, namun yang selama ini dilakukan hanya untuk kepentingan investiasi, pemilik modal besar, dan tidak untuk memajukan rakyat. Rakyat telah diperlihatkan berbagai contoh penggusuran yang telah terjadi tidak ada satupun yang berorientasi memperbaiki kehidupan rakyat.
Relokasi paksa ke rumah susun justru menambah beban derita dan kemiskinan rakyat. Belum lagi mempersoalkan dampak sosial lainnya, seperti kehilangan pekerjaan, lingkungan sosial, hingga masa depan bagi anak-anak.
Mayoritas rakyat yang mendiami daerah sasaran penggusuran adalah buruh pabrik, pekerja serabutan, pedagang kecil, dengan pendapatan yang sangat terbatas. Keadaan hidup dan kondisi ekonomi yang makin sulitlah yang membuat rakyat tidak mampu menempati perumahan maupun apartemen megah yang justru gencar dikembangkan oleh pemerintah.
Janji politik dari Pemerintah DKI Jakarta Anis-Sandi untuk menyediakan rumah murah, menghentikan reklamasi, menghentikan penggusuran pada kenyataanya hanya ilusi dan kebohongan belaka. Anis-Sandi tidak ubahnya seperti pemerintah DKI Jakarta di bawah pimpinan Ahok sebelumnya, yang tetap berorientasi dan berpihak pada kekuasaan modal skala besar.
Artinya, rakyat sudah saatnya untuk tidak menggantungkan, menitipkan, dan mempertaruhkan nasib serta masa depannya kepada pemerintah dan siapapun yang berada dalam pusaran kekuasaan. Hanya dengan kekuatan dan persatuan dari rakyat seluruh kemenangan dapat tercapai. (ass)