Jakarta (Panjimas.com) – Majelis Ulama Indonesia (MUI) merasa belum diajak bicara mengenai rencana
Pemerintah menerbitkan peraturan presiden yang menganjurkan agar gaji Pegawai Negeri Sipil muslim dipotong 2,5 persen untuk zakat.
“MUI sampai detik ini belum pernah diajak musyawarah oleh Kantor Kementerian Agama maupun Badan Amil Zakat Nasional terkait dengan rencana pemotongan gaji Pegawai Negeri Sipil 2,5 persen untuk zakat,” kata Wakil Ketua Umum MUI Zainut Tauhid, dalam keterangan tertulisnya, Kamis (8/2/2018).
Sebelumnya, Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin mengatakan, ada dua prinsip dasar dari rancangan perpres zakat ini.
Pertama, difasilitasi negara sehingga tidak ada kewajiban, apalagi paksaan.
“Bagi ASN Muslim yang keberatan gajinya disisipkan sebagai zakat, bisa menyatakan keberatannya. Sebagaimana ASN yang akan disisipkan penghasilannya sebagai zakat, juga harus menyatakan kesediaannya,” tutur dia. “Jadi ada akad. Tidak serta merta pemerintah memotong atau menghimpun zakatnya,” lanjut Lukman.
Kedua, kebijakan ini hanya berlaku bagi ASN Muslim yang pendapatannya sudah mencapai nishab atau batas minimal penghasilan yang wajib dibayarkan zakatnya. “Mereka yang penghasilannya tidak sampai nishab, tidak wajib berzakat. Jadi ada batas minimal penghasilan yang menjadi tolak ukur. Artinya ini juga tidak berlaku bagi seluruh ASN Muslim,” kata dia.
Dana zakat nantinya akan dihimpun oleh Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) dan Lembaga Amil Zakat (LAZ) yang didirikan oleh ormas Islam dan kalangan profesional lainnya. Potensinya sekitar Rp 10 triliun. Zakat yang dihimpun nantinya akan digunakan untuk kemaslahatan masyarakat, baik untuk pendidikan, pesantren, madrasah, sekolah, beasiswa, rumah sakit, ekonomi umat, termasuk untuk membantu masyarakat yang mengalami musibah bencana.
Sementara itu, dikatakan Zainut, MUI setuju bahwa potensi zakat harus lebih dioptimalkan dan dimanfaatkan untuk sebesar-besarnya kemaslahan umat Islam. Namun, MUI mengharapkan dalam pelaksanaannya harus melalui sebuah perencanaan yang baik, kesiapan institusi zakat yang profesional, kapabel dan akuntabel.
Selain itu, harus melibatkan para pihak yang memiliki kepentingan terhadap zakat. “Sehingga dalam pelaksanaannya mendapat dukungan dan kepercayaan dari umat Islam serta sesuai dengan prinsip-prinsip syariah,” kata Zainut.
Zainut merasa MUI berkepentingan mengingatkan hal ini karena jumlah uang yang akan dikelola cukup besar. Uang
tersebut adalah uang umat Islam yang harus ditasharufkan secara amanah dan sesuai dengan ketentuan syariat.
“Ada beberapa hal yang harus dijelaskan oleh pemerintah. Misalnya, siapa saja PNS yang terkena kewajiban zakat, berapa batas nishab dari gaji yang kena wajib zakat. Kemudian, apakah sifatnya wajib atau sukarela dan bagaimana penyaluran serta distribusi zakat tersebut. Karena menurut hemat kami masalah zakat tidak hanya sekadar memungut dan mengumpulkan uang dari muzakki (orang yang berzakat) saja,” kata Zainut.
Politisi Partai Persatuan Pembangunan ini menambahkan, memang ibadah zakat adalah merupakan salah satu dari rukun Islam. Zakat diwajibkan atas setiap orang Islam yang telah memenuhi syarat.
Selain untuk melaksanakan perintah Allah, tujuan pensyariatan zakat ialah untuk membantu umat Islam yang membutuhkan bantuan dan pertolongan. “Oleh karena itu, syariat Islam memberikan perhatian besar dan memberikan kedudukan tinggi pada ibadah zakat ini,” kata dia. (ass)