RAMALLAH, (Panjimas.com) – Pemimpin Organisasi Pembebasan Palestina, Palestine Liberation Organization (PLO) menyerukan agar pemerintah Israel bertanggung jawab atas penghancuran sebuah sekolah Palestina di dekat wilayah Yerusalem Timur.
“Sudah saatnya masyarakat internasional meminta pertanggungjawaban Israel atas tindakannya,” tegas Saeb Erekat, Sekretaris Komite Eksekutif Pelaksana Organisasi Pembebasan Palestina (PLO), dalam pernyataannya Senin (05/02).
Ahad (04/02) lalu, pasukan zionis Israel meruntuhkan 2 kelas milik sekolah yang terletak di komunitas Abu Badai Nawwar, yang dikelilingi oleh berbagai pemukiman ilegal Yahudi pihak yakni Maale Adumim, Kedar dan New Kedar.
Pihak berwenang Israel berdalih bahwa 2 kelas yang baru saja dihancurkan itu termasuk dalam sekolah yang dibangun tanpa izin.
“Penghancuran tersebut merupakan bagian dari pelanggaran hukum internasional Israel, yang bertujuan untuk mencegah mimpi kebebasan dan kehidupan Palestina,” pungkas Erekat.
Pada awal tahun 2016, buldozer militer Israel telah menghancurkan sekolah tersebut, yang pada awalnya didanai oleh pemerintah Prancis.
Penduduk setempat, bagaimanapun, dengan cepat membangun bangunan sekolah itu kembali dengan ruang kelas berbahan seng, tanpa ada daya listrik, tidak ada laboratorium ataupun komputer, dan tidak ada taman bermain.
Sedikitnya saat in terdapat 45 sekolah di wilayah Palestina yang menghadapi ancaman penghancuran oleh Israel, demikian menurut Kantor PBB untuk Koordinasi Urusan Kemanusiaan (OCHA), Ahad (04/02) lalu.
Selama bertahun-tahun, pemerintah Israel telah mencoba untuk menghancurkan komunitas Abu al-Nawwar – yang terdiri dari sekitar 700 orang yang bekerja terutama sebagai penggembala – untuk membuat jalan bagi proyek pemukiman E1 yang massif [pemukiman ilegal Yahudi] di Yerusalem Timur.
Hukum internasional memandang wilayah Tepi Barat – termasuk Yerusalem Timur – sebagai “wilayah yang diduduki” dan menganggap semua bangunan permukiman Yahudi di atas tanah itu adalah tindakan ilegal.
Status Yerusalem telah lama dianggap sebagai isu terakhir yang harus ditentukan dalam perundingan damai Israel-Palestina dan keputusan Trump secara luas dipandang sebagai penghalang kesepahaman sejak lama.
Rancangan resolusi PBB tersebut menegaskan bahwa isu Yerusalem adalah status akhir yang harus diselesaikan melalui perundingan langsung antara Palestina dan Israel, sesuai dengan resolusi Dewan Keamanan yang relevan.
Wilayah Yerusalem Timur berada dalam pendudukan Israel sejak 1967, sementara rakyat Palestina terus berjuang untuk mendeklarasikan Yerusalem sebagai ibukota negaranya.
Yerusalem hingga kini tetap menjadi inti konflik Israel-Palestina selama beberapa dekade, sementara rakyat Palestina tetap memperjuangkan Yerusalem Timur yang diduduki Israel sebagai ibu kota negaranya.
Pada bulan April, Rusia mengumumkan pengakuannya atas Yerusalem Barat sebagai ibukota Israel, yang mengungkapkan harapan bahwa separuh bagian timur kota Yerusalem pada akhirnya dapat berfungsi sebagai ibukota Palestina
Khususnya, dalam pengumumannya pekan lalu, Trump menekankan bahwa pemerintahannya belum mengambil posisi mengenai “batas-batas spesifik kedaulatan Israel di Yerusalem”.[IZ]