JAKARTA, (Panjimas.com) — Forum Jurnalis Muslim (Forjim) meminta pemerintah Indonesia serius melindungi kebebasan pers. Apalagi saat ini pemerintah kerap mendukung gegap gempita peringatan Hari Pers Nasional (HPN) setiap 9 Februari.
Menurut Forjim melalui Ketua Umum Dudy Sya’bani Takdir, salah satu persoalan yang sering menimpa insan pers ketika melaksanakan tugasnya adalah kekerasan dan kriminalisasi.
“Soal perlindungan wartawan serta kemerdekaan pers, Indonesia masih jauh dari ideal. Kasus-kasus kekerasan serta kriminalisasi wartawan masih mewarnai dunia pers di Indonesia dalam waktu dua tahun belakangan ini,” kata Redaktur Eksekutif Ahad.co.id itu di Jakarta, Rabu (7/2/2018).
Dia mencontohkan kasus kriminalisasi terhadap Ranu Muda Adi Nugroho, wartawan portal Panjimas. Dikatakan Dudy, Ranu sempat dipenjara beberapa bulan karena dituduh melakukan pemufakatan jahat pada kasus perusakan satu kafe di Solo, Jawa Tengah.
“Padahal waktu itu, Ranu sedang bertugas melakukan peliputan. Dan memang betul setelah proses pengadilan, Ranu divonis bebas tak bersalah. Ini harus menjadi pelajaran semua pihak bahwa perlindungan terhadap wartawan mutlak dilakukan,” ungkap pria yang pernah bekerja di Radio MQ FM Jogja, Majalah Gatra, dan Jawa Pos TV ini.
Lebih lanjut Dudy menjelaskan, pemblokiran terhadap media-media Islam secara sepihak juga masih terjadi. Pada awal 2017 lalu, sejumlah situs media Islam sempat diblokir pemerintah dengan tuduhan menyebarkan paham radikalisme.
“Ternyata tuduhan itu tak terbukti, bahkan banyak dari Media Islam yang sudah berbadan hukum seperti amanat Undang-Undang Undang No 40 tahun 1999 tentang Pers,” katanya.
Untuk itu Forjim meminta pemerintah konsisten menjamin kebebasan pers tanpa pandang bulu. “Perhatikan ayat kedua UU No 40 tahun 1999, ayat itu berbunyi bahwa terhadap pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pembredelan atau pelarangan penyiaran,” tegas Dudy.
Terkait penetapan hari lahir Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) 9 Februari 1946 sebagai Hari Pers Nasional, Forjim mendorong pemerintah mengkaji ulang Keputusan Presiden Nomor 5 tahun 1985 itu.
“Semangat yang dibawa dalam HPN memang dapat diterima, kami pun tidak ingin terjebak pada perdebatan pro dan kontra soal HPN, hanya saja menurut kami semua entitas pers di Indonesia patut didengar pendapatnya,” jelasnya.
Agar semua kelompok yang terlibat dalam dunia pers merasa terwakili, Forjim mengusulkan penetapan HPN dapat berdasarkan kelahiran produk media pertama kali di Indonesia, bukan hari kelahiran organisasi wartawan.
“Hari kelahiran surat kabar Medan Prijaji pada pertengahan Januari 1907 kami kira bisa menjadi salah satu pertimbangan untuk mengkaji ulang penetapan HPN,” kata Dudy. [RN]