RAMALLAH, (Panjimas.com) — Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) Sabtu (03/02) lalu memerintahkan pemerintah Palestina untuk membuat rencana tindakan (aksi) darurat “emergency action plan” untuk melepaskan diri dari penindasan Israel.
Berdasarkan pernyataan yang dikeluarkan pasca pertemuan Komite Eksekutif PLO di kota Ramallah, Tepi Barat yang diketuai oleh Presiden Palestina Mahmoud Abbas, PLO meminta pemerintah untuk merancang sebuah peta jalan ‘roadmap’ sesegera mungkin untuk memutus kontrak-kontrak dengan Israel dalam sektor politik, pemerintahan, ekonomi dan keamanan.
Pertemuan Komite Eksekutif PLO juga memutuskan untuk melakukan tindakan melawan pendudukan Israel di Dewan Keamanan PBB, Majelis Umum dan Pengadilan Pidana Internasional di Den Haag.
PLO yang berbasis di Ramallah mendesak pemerintah Palestina untuk menyerahkan rencana aksi tersebut ke Komite Eksekutif, demikian pernyataan PLO.
Pertemuan Komite Eksekutif PLO di Ramallah tersebut menyepakati untuk segera dihentikannya koordinasi keamanan dan hubungan ekonomi dengan Israel.
Selain itu PLO juga mendesak dibentuknya sebuah komite yang lebih tinggi untuk melaksanakan keputusan Dewan Pusat PLO, termasuk menangguhkan pengakuan Palestina terhadap Israel sampai negara tersebut mengakui kedaulatan negara Palestina berdasarkan perbatasannya pada tahun 1967.
PLO menegaskan bahwa kebijakan Presiden AS Donald Trump terhadap Palestina sebagai “perlawanan terhadap keputusan sah nasional”, ujar pernyataan PLO tersebut.
PLO juga mendesak Washington untuk mempertimbangkan keputusannya kembali.
Pada tanggal 21 Desember, 128 negara menolak deklarasi Trump di Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa, dan menuntut AS untuk menarik keputusannya tersebut.
Majelis Umum PBB yang beranggotakan 193 negara anggota Kamis malam (21/12) menggelar sidang khusus darurat mengenai keputusan Presiden Amerika Serikat Donald Trump pada 6 Desember lalu. Tidak seperti di Dewan Keamanan, dalam Majelis Umum PBB, A.S. tidak memiliki hak veto.
Sebanyak 128 anggota memilih mendukung resolusi tersebut, 9 negara menolak dan 35 lainnya abstain.
Sebagaimana diketahui, 3 hari sebelumnya, AS memveto resolusi Dewan Keamanan PBB – yang mendapat dukungan dari 14 anggota Dewan Keamanan tersebut (baik anggota permanen maupun anggota tidak tetap DK PBB). Resolusi DK PBB itu menyerukan larangan pembentukan misi diplomatik AS di Yerusalem.
Hukum internasional memandang wilayah Tepi Barat – termasuk Yerusalem Timur – sebagai “wilayah yang diduduki” dan menganggap semua bangunan permukiman Yahudi di atas tanah itu adalah tindakan ilegal.
Status Yerusalem telah lama dianggap sebagai isu terakhir yang harus ditentukan dalam perundingan damai Israel-Palestina dan keputusan Trump secara luas dipandang sebagai penghalang kesepahaman sejak lama.
Rancangan resolusi PBB tersebut menegaskan bahwa isu Yerusalem adalah status akhir yang harus diselesaikan melalui perundingan langsung antara Palestina dan Israel, sesuai dengan resolusi Dewan Keamanan yang relevan.
Wilayah Yerusalem Timur berada dalam pendudukan Israel sejak 1967, sementara rakyat Palestina terus berjuang untuk mendeklarasikan Yerusalem sebagai ibukota negaranya.
Yerusalem hingga kini tetap menjadi inti konflik Israel-Palestina selama beberapa dekade, sementara rakyat Palestina tetap memperjuangkan Yerusalem Timur yang diduduki Israel sebagai ibu kota negaranya.
Pada bulan April, Rusia mengumumkan pengakuannya atas Yerusalem Barat sebagai ibukota Israel, yang mengungkapkan harapan bahwa separuh bagian timur kota Yerusalem pada akhirnya dapat berfungsi sebagai ibukota Palestina
Khususnya, dalam pengumumannya pekan lalu, Trump menekankan bahwa pemerintahannya belum mengambil posisi mengenai “batas-batas spesifik kedaulatan Israel di Yerusalem”.[IZ]