Jakarta (Panjimas.com) – Pelatihan Menulis yang diadakan LPPD Khairu Ummah, belum lama ini, Ahad (28 Januari 2018) di Masjid al Insan Patal Senayan, sungguh menggugah. Bukan hanya karena materi yang “practicable”, namun lebih karena kehadiran tujuh orang tunanetra dalam pelatihan ini.
“Pada awalnya, saya skeptis saja melihat kehadiran mereka. Dalam pikiran saya, apa pula kepentingan tunanetra dengan kemampuan menulis? Terlebih menulis untuk keperluan dakwah,” kata Ustadz Ahmad Yani, Pimpinan LPPD Khairu Ummah yang juga bertindak sebagai pemberi materi.
Hal ini segera berakhir saat acara dimulai. Sebagai awal saja, salah seorang diantara mereka membacakan ayat-ayat suci al Qur’an. Istimewanya lagi, diantara para tuna netra yang hadir, ada yang pandai berdakwah. Bahkan, ada yang sudah membuat dua buah buku. Ini sungguh luarbiasa.
Kemajuan teknologi gadget saat ini telah mampu membantu teman – teman tersebut dapat menulis dalam keterbatasannya. “Keterbatasan fisik bukanlah hambatan untuk berkarya dalam kerangka dakwah. Saya merasa tersentil. Mereka yang tunanetra sudah berprestasi. Sementara saya belum apa-apa,” kata Ustadz Ahmad Yani.
Dikatakan Ustadz Ahmad Yani, menulis itu adalah sebuah keterampilan. Menulis harus di awali dengan motivasi yang kuat kemudian dijadikan kebiasaan. “Profesor saja belum tentu bisa menulis,” ujarnya.
Dari pengalamannya, Ustadz Ahmad Yani mengungkapkan pengakuan seorang profesor yang bertemu dengannya. Profesor itu bilang, bahwa ia baru sampai pada membuat daftar isi. Suatu ketika, Buya Syafii Maarif pernah mengkritik para guru besar atau profesor yang tidak memiliki karya tulis, padahal mereka sudah mendapatkan tunjangan yang besar.
“Sebenarnya menulis itu bisa dilakukan oleh siapa saja asalkan memiliki motivasi yang kuat, kemauan untuk bisa, ketekunan, fokus dan latihan yang terus menerus. Tidak harus menjadi profesor untuk bisa menulis, karena kita bisa menulis apa saja yang kita ingin tulis.”
Ustadz Ahmad Yani memberi contoh, kita bisa menulis tentang perjalanan atau pengalaman hidup kita, tentang pekerjaan yang kita lakukan, tentang hobi yang kita senangi, ilmu yang kita dalami dan sebagainya. “Menulis itu ya mulai saja, dari menulis sebuah kata, lalu dirangkai menjadi sebuah kalimat, setelah itu kembangkan menjadi satu alinea.”
Jika kita melihat sebuah tulisan, lalu kita katakan bahwa kalau tulisan begitu saja saya juga bisa, itu berarti kita bisa menulis, hanya saja orang lain menulis sedangkan kita baru sebatas bicara. Jadi mulailah menulis, tidak perlu menunggu menjadi profesor untuk bisa menulis, karena profesor pun belum tentu bisa menulis.
“Jangan takut salah. Kesalahan dalam menulis itu lebih baik daripada tidak pernah salah, karena tidak pernah menulis sama sekali. Tidak usah khawatir salah, jika ada masukan dari orang yang membaca dengarkan, kemudian perbaiki tulisan kita. Satu lagi poin yang penting adalah banyak membaca, mencari referensi bagi tulisan yang akan kita buat,” jelasnya memberi motivasi.
Semangat Peserta
Salah seorang peserta pelatihan, Ahmad Faisal, mengatakan, pertama kali menerima info dari ustadz Ahmad Yani tentang pelatihan penulisan dakwah angkatan ktiga hatinya gembira. Dua kali pelatihan sebelumnya ia tidak dapat ikut karena ada kesibukan yang lain. “Alhamdulillah, saya bisa mengikuti pelatihan yang diselenggarakan hari ini di Masjid Al Insan Patal Senayan.”
Faisal mengakui, banyak hal baru yang ia terima dari pelatihan ini. Selain motivasi menulis, ia bisa mendapatkan solusi dari kesulitan-kesulitan yang dialami saat menulis. Hal menarik lainnya adalah para peserta pelatihan berasal dari beragam profesi dan latar belakang disiplin ilmu.
“Kehadiran teman-teman tuna netra sebanyak tujuh orang, punya semangat yang tinggi. Ternyata teknologi dapat membantu teman – teman itu dalam dunia tulis menulis. Bahkan ada teman tuna netra yang sudah menerbitkan bukunya. Semoga pelatihan ini dapat lebih memotivasi diri dalam menulis dan menjadi amal baik kelak,” kata Faisal takjub.
Hal senada dikatakan peserta lainnya, Arif Rahman Hakim. Menurutnya, da’wah Itu mengagumkan, menyeru, mengajak kepada kebaikan. Bentuk seruan dan ajakan ini beragam; bertatap muka langsung, maupun tidak langsung. Salah satu bentuk tidak langsung adalah dalam bentuk tulisan.
Dunia tulis menulis saat ini begitu maju, muncul beragam fasilitas untuk menyebarkan opini, pesan, nasehat, bahkan provokasi.Selayaknya da’wah juga didorong untuk memenuhi dunia sosial media ini, agar ada perimbangan nilai-nilai maupun pesan-pesan kebaikan.
Ramlan Syukur, peserta pelatihan juga merasakan manfaat yang sama. Baginya, menulis itu ternyata mudah. “Setelah mendengarkan secara langsung pemaparan Ustadz Ahmad Yani, tentang langkah-langkah menulis dan Teknis Menulis Sederhana, ternyata menulis itu sangat mudah dan sederhana. Karena bahan yang akan ditulis itu sudah ada pada hati dan pikiran kita. Tinggal bagaimana menuangkannya dalam bentuk tulisan.”
Sedangkan Martini, peserta ahwat, mengatakan, bicara dakwah, terlintas dalam pikirannya, hanya dilakukan orang tua yang sudah syarat ilmu agamanya, yang sudah mulai mengurangi aktivitas dunia.
“Melihat tunatera yang ikut pelatihan menulis, telah memotivasi saya sebagai anak muda untuk menyenangi dakwah. Ternyata, faktor usia, baik tua, muda, bahkan keterbatasan fisik akibat cacat anggota tubuhnya, tak menjadi penghalang untuk menggali ilmu agama dan menulis,” tukasnya (ass)