LJUBLJANA, (Panjimas.com) – Slovenia dilaporkan sedang bersiap untuk mengakui kedaulatan Palestina sebagai negara yang merdeka pada bulan Februari mendatang, demikian menurut surat kabar lokal ‘Delo’, Senin (22/01).
Surat Kabar Slovenia Delo melaporkan hal ini, dengan mengutip pernyataan Menteri Luar Negeri Karl Erjavec.
Jikalau nanti Slovenia mengakui kedaulatan Palestina, maka negara Balkan kecil itu akan menjadi negara anggota Uni Eropa kedua, setelah Swedia, yang melakukan hal serupa.
Menurut laporan Delo, pembahasan tentang pengakuan negara Palestina juga sedang berlangsung di Portugal, Irlandia, Belgia, dan Luksemburg.
“Relokasi Kedutaan A.S. berarti menjauhkan dari solusi dua negara,” ungkap Menlu Erjavec, menurut surat kabar Delo.
Mengacu pada keputusan kontroversial Presiden Amerika Serikat Donald Trump yang mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel, Erjavec menambahkan: “Saya pikir sekarang adalah waktu yang tepat untuk mendapatkan dukungan tambahan untuk Palestina.”
“Slovenia, merupakan negara yang terletak di Eropa Tengah, negara ini terkenal akan pegunungan, resor ski, dan danaunya yang indah. Di Danau Bled, sebuah danau glasial yang bersumber air panas, kota Bled berisi pulau kecil yang dikelilingi gereja dan sebuah istana abad pertengahan Cliffside. Ljubljana, ibukota Slovenia, berdesain fasade baroque bercampur dengan arsitektur abad ke-20 karya Jože Plečnik, sementara bangunan ikonik Tromostovje (Triple Bridge) membentang di sungai Ljubljanica yang melengkung.”
Pada tanggal 21 Desember, 128 negara menolak deklarasi Trump di Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa, dan menuntut AS untuk menarik keputusannya tersebut.
Majelis Umum PBB yang beranggotakan 193 negara anggota Kamis malam (21/12) menggelar sidang khusus darurat mengenai keputusan Presiden Amerika Serikat Donald Trump pada 6 Desember lalu. Tidak seperti di Dewan Keamanan, dalam Majelis Umum PBB, A.S. tidak memiliki hak veto.
Sebanyak 128 anggota memilih mendukung resolusi tersebut, 9 negara menolak dan 35 lainnya abstain.
Sebagaimana diketahui, 3 hari sebelumnya, AS memveto resolusi Dewan Keamanan PBB – yang mendapat dukungan dari 14 anggota Dewan Keamanan tersebut (baik anggota permanen maupun anggota tidak tetap DK PBB). Resolusi DK PBB itu menyerukan larangan pembentukan misi diplomatik AS di Yerusalem.
Hukum internasional memandang wilayah Tepi Barat – termasuk Yerusalem Timur – sebagai “wilayah yang diduduki” dan menganggap semua bangunan permukiman Yahudi di atas tanah itu adalah tindakan ilegal.
Status Yerusalem telah lama dianggap sebagai isu terakhir yang harus ditentukan dalam perundingan damai Israel-Palestina dan keputusan Trump secara luas dipandang sebagai penghalang kesepahaman sejak lama.
Rancangan resolusi PBB tersebut menegaskan bahwa isu Yerusalem adalah status akhir yang harus diselesaikan melalui perundingan langsung antara Palestina dan Israel, sesuai dengan resolusi Dewan Keamanan yang relevan.
Wilayah Yerusalem Timur berada dalam pendudukan Israel sejak 1967, sementara rakyat Palestina terus berjuang untuk mendeklarasikan Yerusalem sebagai ibukota negaranya.
Yerusalem hingga kini tetap menjadi inti konflik Israel-Palestina selama beberapa dekade, sementara rakyat Palestina tetap memperjuangkan Yerusalem Timur yang diduduki Israel sebagai ibu kota negaranya.
Pada bulan April, Rusia mengumumkan pengakuannya atas Yerusalem Barat sebagai ibukota Israel, yang mengungkapkan harapan bahwa separuh bagian timur kota Yerusalem pada akhirnya dapat berfungsi sebagai ibukota Palestina
Khususnya, dalam pengumumannya pekan lalu, Trump menekankan bahwa pemerintahannya belum mengambil posisi mengenai “batas-batas spesifik kedaulatan Israel di Yerusalem”.[IZ]