JAKARTA, (Panjimas.com) – Menjadi Muslim berbeda dengan menjadi orang Arab, maka Islamisasi jelas berbeda dengan Arabisasi. Islam bukan ajaran Arab, walau Al-Qur’an berbahasa Arab, dan Nabi Muhammad dari kaum Arab, Islam itu jalan hidup, prinsip hidup.
Demikian salah satu kalimat pembuka dari tulisan panjang yang dibuat oleh ustad Felix Siauw Jumat (26/1).
“Faktanya, turunnya Islam justru ditentang kaum Arab di masa itu, karena Islam datang mengubah tradisi, keyakinan, kebiasan jahil Arab,” tutur ustd Felix.
Islam datang kepada kaum Arab membawa tatanan sama sekali baru, baik dalam hal tradisi, kebiasaan, akhlak, hukum, juga cara hidup.
Perlu dicatat, karena Al-Qur’an dan Nabi Muhammad berbahasa Arab maka bahasa Arab juga tidak bisa dipisahkan dari agama Islam. Juga kewajaran, bahwa agama Islam awalnya disebarkan oleh orang Arab, karena memang agama Allah yang pamungkas ini berasal dari sana.
“Mengenai tokoh-tokoh besar agama Islam ini adalah orang Arab, itu pun wajar saja, karena merekalah kaum awal yang beragama Islam,” kata ustd Felix lagi.
Jadi bisa dikatakan, Arab belum tentu Islam, dan Islam tidak harus Arab, yang jelas Islam itu pasti berdasar Al-Qur’an dan As-Sunnah. Juga salah besar, bila dikatakan Islamisasi sama dengan Arabisasi, lantas menolak Islamisasi dengan dalih, “Ini Indonesia, bukan Arab”..”Apa bedanya? jelas sekali beda, menjadi Arab atau bukan Arab itu takdir, sedangkan mengambil Islam atau mengabaikannya, itu pilihan,” ujar ustd Felix Siauw.
Islam itu Islam, tidak perlu ada pandangan “disana Islam Arab, disini Islam Nusantara”, ini pandangan yang justru memecah-belah Islam. Islam itu ya Islam, panduannya Kitabullah dan Sunnah, Khulafaurrasyidin, juga tabiin, tabiut tabiin, ulama salaf, apapun madzhabnya.
“Adapun menjadi Muslim, tidak berarti meninggalkan budaya lokal, bila bertentang dengan Islam tinggalkan, bila tidak ya lanjutkan,” tandas ustd Felix.
Apa standar meninggalkan dan melanjutkan budaya setelah jadi Muslim? ya akidah, bila bertentang dengan aqidah, ya harus tinggalkan.
Misalnya seperti budaya membuka aurat, menyembah pohon, ya tinggalkan, beda dengan arsitektur, aneka makanan (halal), ya lanjutkan. Islam masuk ke Cina, arsitektur masjid mirip pagoda, boleh saja, tapi sembahyang leluhur dengan hio, ya ditinggalkan, itu contohnya. Islam masuk ke Indonesia, maka batik tetap lestari, bahkan menyerap nilai Islam, boleh saja, tapi menyembah batu dan patung, dihapus.
Dalam Islam mudah saja, selama tidak dilarang syariat, amalkan saja, namun bila sudah ada larangan syariat, Islam yang diutamakan. Maka dalam Islam, semua produk (fisik atau non-fisik) selain aqidah, boleh saja diadopsi, teknologi juga termasuk “produk non-aqidah”. Tapi produk aqidah, selamanya bukan bagian daripada Islam, kita mencukupkan diri pada Kitabullah dan Sunnah, itu yang terbaik.
Kesimpulannya, belajarlah Islam, kaji terus Islam, jangan berhenti, taati Allah dan Rasulullah semata, karena kita kembali pada-Nya.
Jadi Muslim kamu nggak harus surbanan, nggak harus jubah, yang jelas pikirmu, lisanmu, amalmu, harus berasas Islam. Jangan sampai kebalik, kamu surbanan, sarungan, pecian, jubah, tapi pola pikirmu dan referensimu liberal, jauh dari Kitabullah Sunnah.
“Lebih bagus kamu batikan, kemejaan, kaosan, celanaan, lalu setiap kamu mikir, lisan, amal, semua ada dalil Kitabullah dan Sunnah. Lebih bagus lagi, kamu pecian, sarungan, surbanan, jubahan dan semua pikir, lisan, amalmu , asasnya Kitabullah dan Sunnah, itu,” pungkasnya. [ES]