Jakarta (Panjimas.com) – Beberapa tahun terakhir Bank Indonesia sebagai bank sentral cukup banyak mendukung dan memfasilitasi penguatan literasi zakat dan wakaf dalam kerangka cetak biru ekonomi dan keuangan syariah sebagai “arus baru” ekonomi Indonesia. Antara Bank Indonesia dengan BWI juga pernah menandatangani Nota Kesepahaman sejak beberapa waktu lalu.
Demikian sambutan Menteri Agama RI Lukman Hakim Saifuddin saat membuka Rapat Kerja Badan Wakaf Indonesia (BWI) yang merupakan Raker Pertama BWI masa bakti tahun 2017 – 2020 di Jakarta, Rabu (24/1/2018).
Dalam pembukaan tersebut, hadir Gubernur Bank Indonesia, Ketua Badan Wakaf Indonesia, Anggota Dewan Pertimbangan dan Badan Pelaksana BWI, Direktur Departemen Ekonomi dan Keuangan Syariah Bank Indonesia, dan para peserta Raker BWI.
“Saya memandang sinergi dan kerjasama multi stakeholders perlu dioptimalkan sebagai suatu keniscayaan dalam pengembangan filantropi Islam pada umumnya dan perwakafan khususnya di Tanah Air. Selain itu,saya ingin menegaskan bahwa peran Badan Wakaf Indonesia dan peran Kementerian Agama sebagai lembaga pembina perwakafan harus saling memperkuat dalam semangat interdependensi yang tak bisa dilepaskan.”
Menag mengatakan, sebagai sebuah nilai dan pranata keagamaan, filantropi Islam khususnya wakaf, masih perlu mendapatkan perhatian lebih banyak, tidak hanya di kalangan praktisi muslim, tetapi juga di kalangan akademisi dan lintas profesi. Di negara-negara Barat, di Eropa dan Amerika, praktik sejenis “wakaf” untuk institusi pendidikan memiliki akar tradisi yang sangat kuat.
Selain Al-Azhar di Mesir, kampus-kampus besar dan tersohor seperti Harvard, Oxford, Cambridge, adalah contoh lembaga pendidikan tinggi kelas dunia yang lahir dari tradisi filantropi sejenis “wakaf”. “Saya berharap BWI ke depan berperan aktif untuk memperkuat filantropi Islam khususnya wakaf pendidikan dan penelitian yang bermanfaat bagi kemajuan negara, bangsa dan kesejahteraan masyarakat,” ungkap Menag.
Secara praktis, kata Menag, kegiatan filantropi telah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan masyarakat Islam Indonesia. Untuk menghubungkan konsep zakat, sedekah dan wakaf dengan filantropi, dalam tradisi Islam dapat digunakan konsep maslahah ammah, kebaikan bersama, kesejahteraan umum atau “kemaslahatan kolektif”.
Menurutnya, pendirian lembaga-lembaga sosial keagamaan, pendidikan dan kesehatan oleh organisasi keagamaan seperti Nahdlatul Ulama, Muhamadiyah, Persis dan lain sebagainya sejak awal abad ke 20, tidak terlepas dari gerakan atau aktivisme filantropis.
Dalam konteks pendidikan Islam di Indonesia, tradisi filantropi terdapat dalam kegiatan wakaf, yaitu penyerahan aset berupa lahan atau bangunan dari seseorang atau sebuah keluarga (Wakif) yang dikelola oleh Nadzir, hal ini telah berpuluh tahun telah dilaksanakan dalam kehidupan masyarakat Indonesia yang diyakini merupakan ladang pahala untuk bekal di akhirat kelak.
Potensi Wakaf
Menurut penelitian Dr. Zainulbahar Noor (2014) dengan asumsi sederhana: apabila 100 juta dari 204 juta muslim Indonesia melaksanakan wakaf uang rata-rata Rp. 100.000 per bulan, maka total wakaf yang terkumpul dalam satu bulan: Rp 10 triliun, per tahun Rp. 120 triliun. Pencapaian 50 persen daripadanya, jumlah wakaf uang terkumpul dalam satu tahun Rp. 60 triliun.
Pada prinsipnya, semua aset wakaf sesuai ketentuan syariah harus terjaga keabadiannya dan kebermanfaatannya. Aset wakaf tentu harus diinvestasikan ke dalam sektor yang produktif yang menghasilkan keuntungan supaya memberi manfaat kepada umat, sedangkan modalnya tetap utuh. Investasi ekonomi wakaf oleh nazhir yang amanah akan lebih baik kalau bisa menghidupkan ekonomi riil dan memberi nilai manfaat untuk kemaslahatan umat.
Peraturan perundang-undangan tentang wakaf secara kategoris telah mengatur peruntukan harta benda wakaf ialah untuk: sarana dan kegiatan ibadah; sarana dan kegiatan pendidikan serta kesehatan; bantuan kepada fakir miskin anak terlantar, yatim piatu, beasiswa, kemajuan dan peningkatan ekonomi umat, dan kemajuan kesejahteraan umum lainnya.
“Saya optimis prospek pengembangan wakaf ke depan akan terus mengalami kemajuan kendati tantangan yang dihadapi juga cukup kompleks. Sedikitnya 6 tantangan perwakafan yang perlu mendapat perhatian kita semua, yaitu:
Pertama, validasi data aset wakaf, termasuk wakaf uang atau wakaf tunai.
Kedua, peningkatan pengumpulan wakaf uang.
Ketiga, sertifikasi tanah wakaf.
Keempat, sengketa tanah wakaf yang memerlukan mediasi dan advokasi serta ruislag (tukar guling) tanah wakaf yang bermasalah.
Kelima, pemanfaatan aset wakaf untuk kegiatan ekonomi produktif yang memberi nilai tambah bagi kesejahteraan umat.
Keenam, kapasitas dan rasa tanggung jawab para nazhir. (ass)