Jakarta (Panjimas.com) – Ketua Badan Pelaksana Badan Wakaf Indonesia (BWI), Mohammad Nuh disela-sela Rapat Kerja BWI di Gedung Kebon Sirih, Jakarta, Rabu (24/1/2018) menegaskan, lembaganya akan bekerjasama dengan Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) untuk mengaudit keuangan BWI, mulai dari penerimaannya, prosesnya, sampai pemanfaatan harta wakafnya.
“Kita mulai auditnya dari kantor BWI Pusat. Sebelumnya sudah dilakukan audit, tapi kita perbaharui lagi standar-standarnya, dan sistem akuntansi yang sesuai dengan persyaratan di perwakafan. Audit ini adalah bagian dari akuntabilitas dan pertanggungjawaban BWI. Sehingga yang dikelola BWI semuanya bisa dipertanggjawabkan,” kata mantan Menteri Pendidikan Nasional Indonesia dan Menteri Komunikasi dan Informatika itu kepada wartawan.
M Nuh mengatakan, ketika ada yang ingin berwakaf, pasti ditanya, benar nggak ini nadzirnya, pengelolaannya, dan sebagainya. Dengan adanya standar tersebut, dan setiap tahun dilakukan audit, Insya Allah para pengelola dan para nadzir bisa dipertanggjawabkan.
Lebih lanjut M Nuh menjelaskan, semua tahu bahwa potensi wakaf sangat besar. Kalau umat Islam yang jumlahnya ratusan juta ini ‘ngumpulin’ setiap bulan Rp. 50 ribu, lalu kalikan 150 juta, maka angkanya trilyunan. Itu hitung-hitungan di atas kertas. Tugas BWI adalah bagaimana caranya potensi itu bisa dikonversi menjadi kekuatan riil.
“Sering saya ibaratkan, kita itu punya danau yang sangat besar, jutaan kubik, tapi ya sampai disitu. Kalau kita alirkan, dibuat untuk mutar turbin, jadi listrik sekian watt. Mulai untuk penerangan, masak, kerja, dan macam-macam, maka BWI periode 2017-2022 ini mengkonversi potensi yang luar biasa tadi menjadi kekuatan riil.”
Untuk apa kita gelorakan wakaf? M Nuh mengatakan, wakaf itu punya empat fungsi, pertama fungsi transendensi, yaitu orang yang berwakaf itu punya hubungan dengan Tuhan. Ibadah.
Tapi tidak cukup dengan itu. Kalau kita bisa mengelola dengan baik, itu bisa menjadi mesin untuk mensejahterakan masyarakat. Itu esensinya. Dan harus mengembangkak agar nilainya tambah terus. Tidak mengkerut, bisa habis nanti.
Ketiga untuk mengembangkan sistem dakwah. Keempat untuk meningkatkan harkat dan martabat sebagai umat dan bangsa. “Jangan lagi modelnya minta-minta. Bangun masjid begini, bangun sekolah begini, (mengadahkan tangan, minta-minta). Meminta-minta itu hina, nggak mulia.”
Itulah sebabnya, ungkap M Nuh, kita bangun melalui perwakafan. Kita olah agar ada nilai tambahnya. Mau bangun rumah sakit? sekolah? Dengan wakaf bisa terwujud. “Mau bangun sistem ekonomi karena ada rentenir, saya kasih. Jadi tidak begini (mengemis).” (ass)