PARIS, (Panjimas.com) – Perancis Ahad (21/01) lalu menyerukan digelarnya pertemuan darurat Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengenai konflik Suriah menyusul peluncuran Operasi Turki Cabang Olive di Afrin, Suriah, demikian pernyataan Kementerian Luar Negeri Perancis.
“Ghouta, Idlib, Afrin – Prancis mendesak pertemuan darurat Dewan Keamanan,” ujar Menteri Luar Negeri Prancis Jean-Yves Le Drian melalui akun Twitternya, dikutip dari AA.
Le Drian menambahkan pihaknya sedang berbicara dengan rekannya Menlu Turki Mevlut Cavusoglu melalui sambungan telepon Ahad (23/01).
“Perancis memantau keamanan Turki, wilayahnya dan perbatasannya, Prancis menyerukan kepada pihak berwenang Turki untuk bertindak dengan menahan diri dalam konteks rumit dimana situasi kemanusiaan memburuk di beberapa wilayah di Suriah akibat operasi militer yang dilakukan. di sana oleh rezim Damaskus [Bashar al-Assad] dan sekutu-sekutunya,” tulis Kemlu Perancis dalam pernyataannya.
Perancis juga mengutuk keras “aksi pemboman tanpa pandang bulu” oleh rezim Assad yang menargetkan daerah berpenghuni dan pusat-pusat kesehatan di Provinsi Idlib dalam beberapa pekan terakhir dan menyerukan “segera dibukanua akses kemanusiaan ke Ghouta Timur, di mana 400.000 warga sipil yang terkepung berada dalam situasi kritis.”
Menlu Rusia Sergey Lavrov sebelumnya menolak klaim bahwa Tentara Rusia telah menarik diri dari wilayah Afrin.
Laporan-laporan sebelumnya mengatakan bahwa Tentara Rusia telah meninggalkan Afrin sehubungan dengan rencana Turki untuk melakukan operasi militer menumpas PYD / PKK.
Operasi Militer Turki bertujuan untuk menumpas elemen PYD / PKK dan Islamic State (IS) dari kota Afrin. Operasi Turki diluncurkan pada pukul 5 pagi (14.00 GMT) pada hari Sabtu (20/01) dan Turki mengklaim hal itu merupakan hak pembelaan diri berdasarkan hukum internasional, keputusan Dewan Keamanan PBB, berdasarkan piagam PBB dan penghormatan terhadap integritas teritorial Suriah, demikian klaim Militer Turki.
Serangan yang diantisipasi ini diperkirakan akan dilakukan bersamaan dengan Operasi “Euphrates Shield” tahun lalu, di mana FSA yang disokong Turki berhasil membersihkan wilayah Suriah Utara dari elemen-elemen teroris.
Turki berbagi wilayah perbatasan seluas 911 kilometer (sekitar 566 mil) dengan Suriah, dan konflik baru saja mulai muncul akibat perang dahsyat yang dimulai pada tahun 2011 lalu.
Diperkirakan 65 persen wilayah perbatasan Turki-Suriah saat ini dikendalikan oleh milisi PYD / PKK.
Afrin merupakan sebuah wilayah yang berbatasan dengan Provinsi Hatay dan Kilis di Turki. Operasi milliter di Afrin akan digelar lebih luas setelah Operasi Shup Safir selama tujuh bulan yang sukses di Suriah Utara, dan berakhir pada bulan Maret 2017 lalu.
Pada tahun 2011, Rezim Bashar al-Assad menyerahkan kendali Afrin kepada milisi kurdi PYD / PKK tanpa pertempuran, dan saat ini ada sekitar 8.000-10.000 personil PYD/PKK berada di wilayah tersebut, demikian menurut informasi yang dihimpun oleh Anadolu Agency.
Setelah Turki memperingatkan kehadiran militernya di Afrin, Milisi PYD/PKK sekarang ini bersembunyi di tempat penampungan dan lubang-lubang di daerah pemukiman di sana.
PYD/ PKK merupakan cabang Suriah dari organisasi militan Kurdi yang telah dimasukan dalam daftar organisasi teroris oleh AS dan Uni Eropa serta Turki – dan mulai melakukan kampanye bersenjata pada bulan Juli 2015.
Sejak pertengahan 1980an, PKK telah melancarkan kampanye teror yang luas melawan negara Turki, di mana diperkirakan 40.000 orang dibunuh.
Sejak saat itu, mereka telah membunuh lebih dari 1.200 personil keamanan dan warga sipil Turki, termasuk perempuan dan anak-anak.
PKK berjuang untuk kemerdekaan dan kepentingan nasionalime etnis Kurdi.
Sejak puluhan tahun lamanya PKK memperjuangkan ideologi marxisme-leninis, mencita-citakan Negara Komunis dengan berbasis nasionalisme Kurdi.
Dengan karakter ektrim kiri komunis yang keras ini telah lama mereka berseteru dengan Turki.[IZ]