Jakarta (Panjimas.com) – Beberapa waktu lalu Jubir Wakil Presiden RI Jusuf Kalla Hussein Abdullah bicara tentang Rumah Cimanggis di media online ( (https://nasional.kompas.com/read/2018/01/18/23441581/jubir-jk-tanggapi-sejarawan-yang-baru-sekarang-perhatian-pada-rumah) dan tempo.co (https://nasional.tempo.co/read/1051956/jubir-wapres-sebut-sejarawan-jj-rizal-mengidap-stunting-sejarah ).
Hussein Abdullah mengatakan, “Rumah Cimanggis sebelumnya kurang mendapatkan perhatian dari para sejarawan. Belakangan, setelah akan dihancurkan untuk pembangunan UIII mendadak banyak sejarawan yang meminta pemerintah mempertahankannya.”
Hussein juga mengatakan, menjadi pertanyaan, kenapa justru di saat kawasan sekitarnya akan dibangun pusat peradaban Islam, barulah diributkan Rumah Cimanggis. “Para sejarawan tak berpikir luas jika menolak rencana pemerintah menghancurkan rumah cimanggis demi pembangunan UIII.”
Lebih jauh Hussein Abdullah mengatakan, seharusnya sejarawan menggunakan logika dalam mengkaji aspek kesejarahan sebuah objek. Jika Adriana bukan istri kedua Van der Parra, seharusnya ia tinggal di Istana Bogor. Tapi faktanya tidak, justru Adriana harus menepi ke Rumah Cimanggis di Depok yang pada masa itu, sebagian masih hutan belantara?
“Sejarawan menyinggung bahwa benteng Fort Roterdam itu tidak dibangun Belanda, melainkan oleh Raja Gowa sebagai pengawal Benteng Somba Opu, yang kemudian direbut oleh Belanda setelah Speelman menaklukkan Gowa,” kata Hussein.
Jawaban Sejarawan
Terkait pernyataan Jubir JK Hussein Abdullah tentang Rumah Cimanggis, Komunitas Sejarah Depok memberikan jawaban
dalam siaran persnya belum lama ini di Depok, 19 Januari 2018.
“Di sini penggunaan kata kami merujuk kepada beberapa orang, sebab keterangan pers tersebut tidak hanya menyangkut satu pribadi yaitu JJ Rizal, tetapi tampaknya ditujukan kepada beberapa orang yang bicara di berbagai media sebagai anggota dari Komunitas Sejarah Depok, maka akan ikut menyikapi juga Ratu Farah Diba dan Heri Syaefudin,” demikian kata pengantar dalam siaran pers Komunitas Sejarah Depok.
Berikut jawaban Sejarawan Ratu Farah Diba dan Aktivis Lingkungan (Komunitas Hijau) Heri Syaefudin. “Jika bapak Jubir Wakil Presiden JK membaca petisi Selamatkan Situs Sejarah Rumah Cimanggis Depok Abad 18 yang umumkan Komunitas Sejarah Depok di Change.Org (23 Desember 2017) dan siaran pers Jalan dan Gowes Bareng #SelamatkanRumahCimanggis (7 Januari 2018) tentu akan tahu bahwa perhatian para sejarawan di depok setidaknya sudah ada sejak 2011,” ungkap Ratu Farah Diba.
“Saat itu kami mendaftarkan rumah Cimanggis ke kantor BPCB (Badan Pelestari Cagar Budaya) Serang yang mendapat No. 007.02.24.04.11. Jadi tujuh tahun lebih sebelum heboh UIII. Pendaftaran ke BPCB Serang itu pun tindak lanjut dari kerja mengiventarisasi situs sejarah di Depok yang kami lakukan pada 2012.”
“Kami para sejarawan dan masyarakat Depok tentu tidak perlu repot melakukan upaya-upaya memperhatikan, menginventarisasi, mengumpulkan informasi kesejarahan dan mendaftarkan situs sejarah jika pemerintah menjalankan amanah UU Cagar Budaya No. 10 tahun 2011, yaitu “bahwa untuk melestarikan cagar budaya, negara bertanggung jawab dalam pengaturan pelindungan, pengembangan, dan pemanfaatan cagar budaya”,” jelas Ratu Farah Diba.
Sementara itu, aktivis lingkungan, Heri Syaefudin menjawab, ”Justru seharusnya kami yang bertanya mengapa tiba-tiba saja dan tanpa pernah ada sosialisasi dengan warga Depok tahu-tahu akan dibangun pusat peradaban Islam UIII.”
Padahal, lanjut Heri, dalam RTRW (Rencana Tata Ruang Wilayah) Depok kawasan RRI itu adalah RTH. Yang santer terdengar justru berita pada tahun 2015 kawasan itu oleh Walikota Nurmahmudi disosialisasikan sebagai arboretum atau hutan kota yang bisa menjadi paru-paru dunia.
“Ini diperlukan sekali oleh Depok untuk memenuhi 30 persen kewajiban RTH (Ruang Terbuka Hijau) yang saat itu baru bisa dipenuhi 9 persen RTH Publik. Sekaligus bisa difungsikan sebagai kawasan resapan yang menahan run off jika musim hujan tiba dan dengan demikian mengurangi kemungkinan banjir ke Jakarta.”
Jawaban JJ Rizal
Sedangkan JJ Rizal menjawab, “Gerakan kami adalah #SelamatkanRumahCimanggis dan karena itu konsentrasi kami lebih pada soal bagaimana agar situs sejarah itu selamat. Bukan pada upaya menolak keberadaan UIII.”
“Sebab bagi kami tidak perlu membenturkan apalagi mempertentangkan atau malah menghilangkan antara dua hal yang sebenarnya sama fungsinya, yaitu medium pendidikan. Seperti juga universitas, bagi kami “situs sejarah” juga medium pendidikan.”
Apalagi yang akan didirikan adalah Universitas Islam Internasional yang disebut akan dijadikan pusat peradaban Islam. Bukankah Islam dan sejarah seperti gigi dengan gusi, dekat sekali. Peradaban Islam dengan dunia internasional pun lekat betul.
“Qur’an hampir dalam banyak kandungan bertutur tentang masa lalu. Qur’an tak sekedar cerita tapi juga mengajak ummatnya memahami makna peristiwa masa lalu agar berpikiran bukan hanya luas tetapi juga sehat. Sebab dalam kandungan ajaran Islam masa lalu itu adalah sumber pelajaran.
Firman Allah terang benderang dalam soal ini: “Maka pada hari ini Kami selamatkan jasadmu agar engkau dapat menjadi pelajaran bagi orang-orang yang datang setelahmu, tetapi kebanyakan manusia tidak mengindahkan tanda-tanda (kekuasaan) Kami”. (QS Yunus: 92.).
“Itu ayat tentang Fir’aun yang dibiarkan mayatnya bertahan utuh. Sebagai ingatan tentang penguasa lalim yang keji. Sekaligus pelajaran untuk orang yang ingkar.”
Kini bahkan jasad Fir’aun itu bukan hanya menjadi situs sejarah dunia Islam, tetapi juga menjadi salah satu dari banyak situs sejarah masa lalu Islam yang diterima menjadi situs dunia internasional.
“Islam memang penyumbang besar peradaban dunia internasional karena kekayaan peradaban Islam menyimpan banyak cerita, kisah, situs yang dapat menjadi ruang bermenung untuk mengerti apa arti kemajuan yang beradab.”
Terlebih bangsa kita mengadopsi kata sejarah bukan dari bahasa peradaban Eropa. Tetapi, dari bahasa dunia Islam yaitu šyajaratun artinya pohon.
“Dosen saya saat kuliah dulu di Jurusan Sejarah FSUI, pak Sutopo Soetanto, dalam kuliah Pengantar Ilmu Sejarah bilang bahwa šyajaratun itu bermakna ganda. Sebab bukan saja mengacu kepada silsilah yang seperti pohon. Tetapi, juga mereka yang hidup tidak peduli dengan sejarah persis pohon tanpa akar.”
“Mereka jadi kurus kering. Membusuk persis jerangkong. Semoga saja kita semua diselamatkan dari bahaya menjadi “kaum jerangkong” dan termasuk kaum yang berpikir luas. Amin.”
JJ Rizal mengatakan, salah satu perangkap maut logika sejarah adalah anakronisme. Istilah ini menurut KBBI artinya 1) hal ketidakcocokan dengan zaman tertentu; 2) penempatan tokoh, peristiwa, percakapan, dan unsur latar yang tidak sesuai menurut waktu.
Misalnya dicontohkan “Hang Tuah melihat arloji titusnya, lalu menghidupkan pesawat televisinya”. Terdapat dua anakronisme di sini. Mana mungkin sudah ada arloji titus dan televisi di zaman Hang Tuah.
“Anakronisme inilah yang hidup dalam pandangan pak Jubir Wakil Presiden JK. Sebab menggunakan logika zaman kini kepada masa lalu.”
Agar semakin jelas baik saya kutip dari A. Heuken dalam buku klasiknya Tempat-tempat Bersejarah di Jakarta. Ia menulis: “Kehidupan di Batavia pada abad ke-18 menjadi semakin tidak sehat. Kota menjadi sibuk, ramai dan berbau busuk.
Dalam daerah yang dikelilingi tembok itu tak banyak tanah yang tersisa untuk membangun rumah besar, apalagi dengan taman yang luas. Padahal pejabat Kompeni menyukai kebun, bunga dan pohon. Oleh karena itu, kaum arsitokrasi duit dan politik membangun rumah-rumah peristirahatan di luar kota, segera sesudah kota aman dari ancaman binatang buas dan gerombolan budak belian yang melarikan diri dan dari sisa tentara Mataram dan khususnya patroli Banten.”
Ini menjelaskan pada abad ke-18, terutama pasca tahun 1730-an, banyak pejabat kaya yang menepi ke luar kota benteng Batavia (ommelanden) dengan sengaja. Niatnya untuk mencari lingkungan yang lebih sehat. Jadi bukan dibuang atau dikucilkan.
Mereka mencari selamat dari epidemi penyakit di kota dengan membangun rumah di kawasan yang lebih segar yang sudah dibuka sejak tahun 1650-an, tetapi masih rimbun pepohonannya. Meskipun bukan lagi hutan belantara.
Mereka kapok bikin rumah plek ketiplek bergaya arsitektur Eropa, tetapi memasukkan arsitektur tropis agar rumah peristirahatnnya lebih segar. Alhasil rumah menjadi banyak kebun-kebun besar, bahkan sawah-sawah dicetak, pohon buah-buahan ditanam dan peternakan diadakan.
Adriana dan van der Parra pun tidak tiap hari di Rumah Cimanggis sebab itu rumah peristirahatan atau landgoed. Tetapi, biasanya seminggu dua kali mereka datang. Plesiran sambil periksa kebun dan pasarnya di Cimanggis. Sisanya tinggal di istananya—bukan istana Bogor (ini landgoed van Imhoff tentu tidak elok diserobot keluarga van der Parra)—melainkan istana mereka sendiri yang jauh lebih mewah di Weltevreden sekitar Senen kini.
Penulis kronik Batavia, P. de Roo de la Faille, menjelaskan Adriana hidup sebagai “Nyonya Gubernur Jenderal” yang membanggakan dan terhormat sebab ia putri dari Gubernur Belanda untuk Ambon. Saking bangganya van der Parra menyebut anak mereka sebagai satu-satunya pewaris sang gubernur jenderal. Van der Parra pun membuatkan mendali bagi anaknya itu saat perayaan ulang tahun perkawinan mereka pada 1768.
Jika sekiranya ini masih kurang logis bahwa Adriana bukan isteri simpanan, saya sarankan bapak Jubir Wakil Presiden JK, membaca sendiri kisahnya di dalam buku The Social World of Batavia: European and Eurasian in Dutch Asia karya Jean Gelman Taylor (https://books.google.co.id/books/about/The_Social_World_of_Batavia.html?id=geKdIDLcUvUC&redir_esc=y)
“Maaf, kalau yang ini hanya pak Jubir Wakil Presiden JK kurang teliti membaca twit saya. Sebab twit saya tidak menyebut Fort Roterdam dibangun oleh Belanda. Tetapi, SIMBOL KOLONISASI KOMPENI sebab berbagai penguasa Belanda bermarkas di Fort Roterdam itu. Nama Fort Roterdam pun baru muncul setelah Speelman berkuasa,” papar sejarawan JJ Rizal. (Ass)