JAKARTA, (Panjimas.com) – Di tengah pembahasan RUU Larangan Minuman Beralkohol (minol), Fraksi PKS kembali menegaskan bahwa sejak awal menolak miras dijual bebas. Menurut Ketua Fraksi PKS Jazuli Juwaini, Fraksi PKS dan PPP adalah yang pertama melakukan inisiatif RUU Larangan Minol sebagai bentuk tanggung jawab moral mengatasi masalah peredaran dan penjualan miras yang marak di tempat-tempat umum.
“Kami tegas dan konsisten sejak awal menolak penjualan miras secara bebas. Bahkan, judul RUU kami usulkan tegas dengan frasa larangan minol untuk memberi pesan dan frame berpikir bahwa dasarnya minuman beralkohol memang dilarang di negara kita,” tegas Jazuli. Sabtu, (21/1).
Menurut Anggota Komisi I tersebut, pelarangan minol bukan hanya karena alasan ideologi, tapi negara yang memang mengarahkan bangsa ini pada kehidupan berbangsa yang sehat dan bermartabat. “Dan juga atas alasan sosiologis (dampak sosial) dimana bebasnya peredaran dan konsumsi minol menjadi penyebab dan pemicu kematian, kejahatan atau kriminalitas, serta merusak kesehatan. Kasusnya sudah banyak diliput media,” ungkapnya.
Anggota DPR Dapil Banten itu menilai pesan pelarangan ini urgen karena melihat realitas begitu bebasnya peredaran minol atau miras yang dijual di tempat-tempat umum dan banyak dikonsumsi oleh remaja dan anak-anak kita. Maka, lanjutnya, pelarangan ini bentuk tanggung jawab moral kita untuk memproteksi generasi bangsa dari kerusakan.
“Dengan UU yang tegas menyatakan pelarangan minol, kita berharap produsen dan penjual semakin taat hukum. Sebaliknya, aparat diharapkan memiliki payung hukum yang kuat untuk menertibkan pelanggaran peredaran miras di tempat-tempat umum,” pungkas Jazuli.
Sementara itu, Anggota Pansus RUU Larangan Minuman Beralkohol (minol) dari Fraksi PKS, Fikri Faqih juga menegaskan pihaknya tidak pernah menyetujui miras dijual bebas di warung atau di minimarket.
“Di Pansus RUU Minol, Fraksi PKS komitmen dan konsisten tidak pernah menyetujui miras dijual bebas di warung atau minimarket. Dalam draf pembahasan terakhir, bahkan semua fraksi menyetujui pembatasan distribusi miras,” jelas Fikri Fakih.
Dikatakan Fikri Faqih lebih lanjut, dalam RUU tersebut juga ditegaskan adanya syarat dan izin untuk menjual miras. Seperti, harus jauh dari lingkungan pendidikan, tempat ibadah, dan fasilitas publik lainnya. Juga untuk pembeli, ada syarat mengenai umur, status kewarganegaraan, bahkan agama yang hingga kini masih didiskusikan.
“Karena penjualan etanol sebagai minuman termasuk pengecualian. Tapi, secara umum dilarang,” tegasnya.
Dalam perkembangan pembahasan semua fraksi pada dasarnya sepakat ada substansi larangan dalam batang tubuh di RUU tersebut. Meski, masih berbeda pandangan soal judul RUU apakah secara eksplisit menggunakan frasa “larangan” atau “pembatasan/pengawasan”.
Menurut Fikri, dari sisi pembatasan, pengawasan, industri, dan mekanisme peredarannya, sebagian sudah diatur dalam peraturan perundang-undangan lain. Seperti, UU tentang Bea Cukai, tentang Makanan dan Obat, tentang Kesehatan, dan sebagainya. [DP]