JAKARTA, (Panjimas.com) – Ketua Aliansi Pergerakan Islam Jawa Barat, Ustadz Asep Syaripudin mengatakan dengan tegas menolak segala bentuk kriminalisasi terhadap ulama dan aktivis Islam.
“Bebaskan Ustadz Alfian Tanjung dari segala tuduhan! Allahu Akbar” katanya, Rabu (17/1/2018).
Pada sidang keempat dengan agenda putusan sela tersebut, Ustadz Asep merasa kecewa terhadap Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang memutuskan untuk menolak eksepsi Ustadz Alfian Tanjung.
“Pada persidangan putusan sela ini sungguh sangat mengecewakan,eksepsi Ustadz Alfian Tanjung ditolak majlis hakim,” terangnya.
Oleh karenanya, sidang akan dilanjutkan pekan depan, pada hari Rabu, 24 Januari 2018 dalam agenda pemeriksaan saksi-saksi.
“Saksi yang akan dihadirkan tidak menutup kemungkinan Hasto Kristianto (Sekjen PDIP) atau Tanda Perdamaian Nasution (Pengacaranya Ahok kasus penistaan agama),” ungkap Ustadz Asep.
Hal senada disampaikan salah satu dari Tim Advokasi Alfian Tanjung (TAAT), Achmad Michdan.
“Iya yang akan hadir Hasto Kristiyanto, Tanda Perdamaian Nasution, dan Muhammad Iman Pahlepi,” tambahnya.
Dengan demikian, API Jabar pun berjanji akan terus mendukung perjuangan Ustadz Alfian Tanjung.
“In syaa Allah Rabu depan API Jabar akan hadir kembali ke PN Jakarta Pusat untuk menghadiri dan mengawal persidangan Ustadz Alfian Tanjung.” pungkasnya.
Tim Advokasi Ustadz Alfian Ajukan Eksepsi
Rabu (3/1) lalu, Kuasa Hukum Ustadz Alfian Tanjung menyampaikan nota keberatan (eksepsi) atas Surat Dakwaan dengan nomor perkara: PDM-921/JKT.PST/12/2017.
Dalam eksepsi pertama, anggota Tim Advokasi Alfian Tanjung (TAAT), Dedi Suhardadi mengatakan, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tidak berwenang mengadili perkara aquo (eksepsi kompetensi relatif).
Menurutnya, Surat Dakwaan Jaksa Penuntut Umum ynag dibacakan pada tanggal 27 Desember 2017, Jaksa tidak menyebutkan tempat tindak pidana dilakukan atau locus delicti-nya. “Ini menyebabkan ketidakjelasan perihal pengadilan negeri mana yang berwenang mengadili perkara aquo,” katanya.
Pada eksepsi keduanya, Dedi menilai surat dakwaan JPU tidak dapat diterima karena mengandung cacat formal. Dalam Dakwaan Kedua Primair, Jaksa Penuntut Umum mendakwa terdakwa dengan ketentuan Pasal 310 ayat (1) dan ayat (2) KUHP.
“Ketentuan Pasal 310 ayat (1) dan ayat (2) KUHP sejatinya adalah dua tindak pidana yang berkaitan namun berbeda atau berdiri sendiri. Maka surat dakwaan Jaksa Penuntut Umum mengandung cacat formal karena keliru dalam penyusunan sistematika dakwaan,” terangnya.
Nota Keberatan ketiga ialah surat dakwaan tidak dapat diterima lantaran identitas terdakwa dianggap tidak lengkap. “Sesuai identitas yang berlaku (KTP) terdakwa bernama lengkap ‘Drs. Alfian, M.Pd.’ sedangkan Jaksa menguraikan nama terdakwa ‘Alfian als Alfian Tanjung’,” ungkapnya.
Hal itu, lanjutnya, bukan persoalan penulisan gelar semata, tetapi penulisan gelar pada nama seseorang harus dimaknai secara yuridis sebagaimana diatur dalam Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 036/U/1993 Tentang Gelar dan Sebutan Lulusan Perguruan Tinggi.
Lebih lanjut, Achmad Michdan juga meminta kepada majelis hakim agar surat dakwaan Jaksa Penuntut Umum dibatalkan karena penerapan hukumnya dipandang keliru.
Dalam dakwaannya, Jaksa Penuntut Umum mendakwa Ustadz Alfian dengan Pasal 28 ayat (2) jo Pasal 45 A ayat (2) UURI No. 19 tahun 2016 tentang perubahan atas UU RI Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Dan, pada dakwaan kesatu subsidair JPU mendakwa Ustadz Alfian dengan Pasal 27 ayat (3) jo Pasal 45 ayat (3) UU RI Nomor 19 tahun 2016 Tentang Perubahan Atas UURI No. 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
“Faktanya Pasal 28 ayat (2) dan Pasal 27 ayat (3) UU No. 19 Tahun 2016 Tentang Perubahan Atas UURI No. 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik adalah norma yang tidak ada,” tegasnya.
Tidak hanya itu, Koordinator Tim Pengacara Muslim (TPM) tersebut menyebutkan bahwa ketidakcermatan Jaksa Penuntut Umum juga terlihat dari dakwaan yang tidak menyebutkan tempat tindak pidana dilakukan.
Pada uraiannya, JPU menjelaskan waktu dan tempat tindak pidana itu dilakukan, pada tanggal 24 Januari 2017 yang bertempat di Jalan Diponegoro No. 58 Menteng, Jakarta Pusat. “Padahal bukan tempat terdakwa melakukan perbuatan yang didakwakan, melainkan tempat kedudukan saksi Hasto Kristianto yang merupakan Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan.” pungkasnya. [DP]