GAZA, (Panjimas.com) – Sejumlah warga Palestina menggelar aksi unjuk rasa di Kota Gaza Ahad (14/01) lalu dalam rangka menuntut Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) agar mengambil keputusan yang “menentukan”, dikutp dari AA.
Dewan Pusat PLO mengadakan pertemuan Ahad (14/01) dan Senin (15/01) di kota Ramallah, Tepi Barat, untuk membahas langkah-langkah yang akan diambil menyusul Deklarasi Presiden Amerika Serikat Donald Trump yang mengakui Yerusalem sebagai ibukota Israel.
Pergeseran kebijakan A.S. di Yerusalem telah memicu kecaman keras di seluruh dunia Arab dan Muslim serta mendorong gelombang demonstrasi di wilayah Palestina yang menyebabkan setidaknya 16 warganya gugur menjadi martir.
Para pengunjuk rasa Gaza melambaikan spanduk-spanduk yang menuntut agar pertemuan Dewan Pusat PLO di Ramallah untuk menggagalkan pengepungan Israel selama satu dekade lamanya di wilayah Jalur Gaza. Selain itu Warga Gaza juga menentut PLO untuk membatalkan kesepakatan Perdamaian Oslo 1993 dengan Israel.
“Rakyat Palestina kami, berharap agar [PLO] mengambil keputusan yang menentukan yang membantu meningkatkan keteguhan mereka,” ujar Sufian Matar, seorang anggota Front Pembebasan Palestina, saat berorasi dalam aksi demonstrasi tersebut.
Matar mendesak penyusunan “platform nasional” baru dengan maksud untuk membatasi PLO.
“Dewan Pusat PLO harus mengambil keputusan yang menentukan untuk mengakhiri penderitaan rakyat Gaza,” tegasnya.
Pada hari Sabtu (13/01), Komite Eksekutif PLO menyerukan digelarnya sebuah konferensi internasional yang disponsori PBB untuk menyelesaikan konflik selama puluhan tahun antara Israel dan Palestina.
PLO adalah kelompok payung yang mencakup sebagian besar faksi-fasi politik utama Palestina, kecuali Hamas dan Jihad Islam, keduanya berkomitmen terhadap sebuah kebijakan perlawanan bersenjata terhadap aksi pendudukan Israel selama beberapa dekade.
Pertemuan Dewan Pusat PLO tersebut digelar berdasarkan seruan Presiden Palestina Mahmoud Abbas bulan lalu untuk membahas langkah-langkah yang harus diambil terhadap Deklarasi Presiden AS Donald Trump yang mengakui Yerusalem sebagai ibukota Israel.
Jumat (12/01) lalu, Stasiun Radio Resmi Palestina mengabarkan bahwa Kepala Biro Politik Hamas Ismail Haniyeh secara resmi mengatakan kepada Ketua Dewan Nasional Palestina PLO, Salim Zanoun, bahwa Hamas tidak akan menghadiri pertemuan tersebut.
Seorang Pemimpin Senior Hamas, yang berbicara secara anonim, mengatakan bahwa “pertemuan tersebut akan diadakan tanpa agenda khusus, yang memperkuat keyakinan kepemimpinan gerakan Hamas bahwa tidak ada keputusan konkret yang akan diambil.”
Gerakan Jihad Islam pada hari Selasa lalu mengumumkan bahwa pihaknya tidak akan berpartisipasi dalam pertemuan tersebut karena akan diadakan di sebuah kota yang diduduki Israel.
Desember lalu, Presiden Palestina Mahmoud Abbas mengumumkan sebuah pertemuan Dewan Pusat Palestina untuk membahas langkah-langkah yang akan diambil terhadap keputusan Presiden AS Donald Trump untuk mengakui Yerusalem sebagai ibukota Israel.
Dewan Pusat PLO diharapkan akan mengadakan pertemuan, dengan tajuk “Yerusalem adalah ibukota abadi Palestina”, pada 14 Januari mendatang.
Tujuan pertemuan tersebut adalah untuk menempa sikap persatuan dalam menghadapi deklarasi Presiden Donald Trump pada bulan lalu yang mengakui Yerusalem sebagai ibukota Israel.
PLO adalah organisasi yang memayungi sebagian besar faksi politik utama Palestina, kecuali Hamas dan Jihad Islam.
Pertemuan terakhir Dewan Pusat PLO diadakan pada tahun 2015 di Ramallah, ibukota administratif Otoritas Palestina.
Pada hari Kamis (04/01), Hamas dan Jihad Islam mengumumkan bahwa pihaknya telah menerima undangan resmi untuk berpartisipasi dalam pertemuan dewan 14 Januari tersebut.
Kedua kelompok, berkomitmen terhadap sebuah kebijakan perlawanan bersenjata melawan pendudukan Israel selama beberapa dekade, dan kedua pihak mengatakan bahwa akan mempertimbangkan tawaran untuk hadir dalam pertemuan Dewan Pusat PLO tersebut.
Ahad (31/12) lalu, Presiden Palestina Mahmoud Abbas mengumumkan bahwa Dewan Pusat PLO akan segera mengadakan sebuah pertemuan darurat untuk membahas “isu-isu penting” yang terkait dengan Yerusalem.
Beberapa pekan lalu, Majelis Umum PBB yang beranggotakan 193 negara anggota Kamis malam (21/12) menggelar sidang khusus darurat mengenai keputusan Presiden Amerika Serikat Donald Trump pada 6 Desember lalu. Tidak seperti di Dewan Keamanan, dalam Majelis Umum PBB, A.S. tidak memiliki hak veto.
Sebanyak 128 anggota memilih mendukung resolusi tersebut, 9 negara menolak dan 35 lainnya abstain.
Sebagaimana diketahui, 3 hari sebelumnya (18/12), AS memveto resolusi Dewan Keamanan PBB – yang mendapat dukungan dari 14 anggota Dewan Keamanan tersebut (baik anggota permanen maupun anggota tidak tetap DK PBB). Resolusi DK PBB itu menyerukan larangan pembentukan misi diplomatik AS di Yerusalem.
Hukum internasional memandang wilayah Tepi Barat – termasuk Yerusalem Timur – sebagai “wilayah yang diduduki” dan menganggap semua bangunan permukiman Yahudi di atas tanah itu adalah tindakan ilegal.
Pada hari Rabu (20/12), Trump mengancam untuk memotong bantuan keuangan dari negara-negara yang memilih mendukung resolusi PBB.
Status Yerusalem telah lama dianggap sebagai isu terakhir yang harus ditentukan dalam perundingan damai Israel-Palestina dan keputusan Trump secara luas dipandang sebagai penghalang kesepahaman sejak lama.
Rancangan resolusi PBB tersebut menegaskan bahwa isu Yerusalem adalah status akhir yang harus diselesaikan melalui perundingan langsung antara Palestina dan Israel, sesuai dengan resolusi Dewan Keamanan yang relevan.
Wilayah Yerusalem Timur berada dalam pendudukan Israel sejak 1967, sementara rakyat Palestina terus berjuang untuk mendeklarasikan Yerusalem sebagai ibukota negaranya.
Yerusalem hingga kini tetap menjadi inti konflik Israel-Palestina selama beberapa dekade, sementara rakyat Palestina tetap memperjuangkan Yerusalem Timur yang diduduki Israel sebagai ibu kota negaranya.
Pada bulan April, Rusia mengumumkan pengakuannya atas Yerusalem Barat sebagai ibukota Israel, yang mengungkapkan harapan bahwa separuh bagian timur kota Yerusalem pada akhirnya dapat berfungsi sebagai ibukota Palestina
Khususnya, dalam pengumumannya pekan lalu, Trump menekankan bahwa pemerintahannya belum mengambil posisi mengenai “batas-batas spesifik kedaulatan Israel di Yerusalem”.[IZ]