MOSKOW, (Panjimas.com) – Pembangunan permukiman ilegal Yahudi baru di wilayah Tepi Barat telah merusak solusi dua negara untuk penyeleseian konflik Palestina-Israel, demikian pernyataan Kementerian Luar Negeri Rusia, Sabtu (13/01).
Menurut pernyataan Kemlu Rusia, Moskow menilai bahwa langkah Israel tidak membantu menciptakan kondisi berlanjutnya perundingan langsung antara Israel dan Palestina.
“Hal ini secara jelas menunjukkan bahwa kelanjutan kegiatan permukiman Israel merongrong prospek solusi dua negara untuk konflik Palestina-Israel, mengurangi kemungkinan untuk mencapai perdamaian yang adil dan dapat diandalkan di Timur Tengah,” tegas Kemlu Rusia, dikutip dari AA.
Rusia juga menegaskan “posisi berprinsipnya” atas ilegalitas aktivitas permukiman Israel di wilayah Palestina, termasuk Yerusalem Timur.
Israel Kamis (11/01) lalu menyetujui pembangunan ratusan unit perumahan ilegal baru bagi para pemukim Yahudi di wilayah Tepi Barat yang diduduki.
Menurut laporan kelompok anti-permukiman, Israel Peace Now, para pejabat Israel tahun lalu menyetujui pembangunan 6.742 unit perumahan ilegal Yahudi baru di Tepi Barat dan Yerusalem Timur – jumlah ini yang tertinggi sejak tahun 2013.
Sekitar setengah juta warga Israel saat ini tinggal di lebih dari 100 permukiman Yahudi yang dibangun sejak Israel menduduki wilayah Tepi Barat dan Yerusalem Timur pada tahun 1967.
Sebelumnya, Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu Selasa (03/10/2017) berjanji untuk secara resmi mencaplok blok pemukiman Palestina di pinggiran Yerusalem.
Pencaplokan Israel itu bertujuan untuk membangun ratusan unit perumahan ilegal Yahudi di Tepi Barat, menurut J-Post.
Mengutip laporan The Jerusalem Post, PM Netanyahu – saat berkunjung ke Ma’ale Adumim, blok permukiman ilegal Yahudi terbesar di Tepi Barat, mengulangi janjinya untuk membangun 4.000 unit perumahan ilegal Yahudi baru di Yerusalem Timur.
“Kami akan mengintensifkan pengembangan Ma’ale Adumim,” tegasnya. “Kami akan membangun ribuan unit perumahan, bersamaan dengan kawasan industri yang perlu, dengan maksud untuk meningkatkan pembangunan daerah tersebut.”
Netanyahu selanjutnya menyatakan bahwa pemerintahnya akan mendukung sebuah Undang-Undang “Greater Jerusalem” yang akan memungkinkan pemerintah kota Yerusalem untuk mencantumkan 19 permukiman utama, termasuk Ma’ale Adumim, Gush Etzion dan Givat Ze’ev.
“Saya mendukung RUU ‘Greater Jerusalem’, yang akan memungkinkan Yerusalem dan masyarakatnya berkembang dengan berbagai cara,” imbuh Netanyahu.
Jika disahkan, RUU ‘Greater Jerusalem’ tersebut akan menambahkan kira-kira 125.000 pemukim Yahudi baru kepada mereka yang tinggal di luar perbatasan kota Yerusalem – sebuah langkah yang dapat mengubah total keseimbangan demografis kota tersebut demi kepentingan penduduk Yahudi.
Pada saat yang sama, sekitar 100.000 warga Palestina sekarang tinggal di lingkungan Yerusalem – akan tetapi di luar tembok pemisah Tepi Barat-Israel – secara administratif mereka terputus aksesnya dari kota.
Israel menduduki Tepi Barat, termasuk Yerusalem Timur, selama Perang Timur Tengah 1967. Israel kemudian mencaplok Yerusalem pada tahun 1980, mengklaimnya sebagai ibukota “abadi” negara Yahudi dalam sebuah langkah yang tidak pernah diakui oleh masyarakat internasional.
Hukum internasional memandang Tepi Barat dan Yerusalem Timur sebagai “wilayah yang diduduki” dan menganggap semua bangunan permukiman Yahudi di sana berstatus hukum ilegal.
Rakyat Palestina, menuding Israel melakukan kampanye agresif “Yahudisasi” Yerusalem dengan tujuan untuk menghilangkan identitas historis Arab dan Islamnya dan mengusir penduduk Palestina.
Yahudisasi Yerusalem
Grand Mufti Yerusalem Syaikh Mohammed Hussein pernah mengungkapkan strategi Yahudisasi kota Yerusalem.
Salah satunya dengan cara memaksakan kebijakan liburan Yahudi di sekolah-sekolah Palestina di Yerusalem, lebih lanjut Grand Mufti Yerusalem Syaikh Hussein menekankan bahwa kebijakan tersebut bertujuan untuk “Yahudisasi” sistem pendidikan di Yerusalem.
Selain ini, Yahudisasi Yerusalem juga dilakukan dengan cara mengganti nama-nama jalan dan daerah-daerah di Kota tua [Yerusalem Timur] dengan nama-nama Ibrani, upaya-upaya semacam ini bertujuan untuk menghilangkan identitas Palestina dan Muslim di Yerusalem, demikian penjelasan Syaikh Mohammed Hussein.
Sementara itu, Yahudisasi dalam konteks demografi dilakukan dengan cara terus membangun pemukiman ilegal Yahudi dan mengusir rakyat Palestina.
Demi Proyek Kota Yahudi 2020
Seperti diberitakan sebelumnya, demi proyek Yahudisasi 2020, Setidaknya 230.000 Warga Palestina di Yerusalem berisiko kehilangan tempat tinggal.
Israel Channel 2 melaporkan bahwa Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu, dalam pertemuan pemerintah pada bulan November 2015 tahun lalu, telah menawarkan proposal yang memerintahkan mencabut residensi (ijin tempat tinggal) bagi ribuan warga Palestina di Yerusalem, dilansir oleh Middle East Monitor.
Menurut pro-Likud channel, usulan Netanyahu ini menargetkan sekitar 230.000 warga Palestina yang memiliki izin tinggal di Yerusalem Timur dan juga mereka yang hidup di kamp pengungsian Shufat, lingkungan kufr Aqab dan lingkungan Sawahra.
Menurut Biro Pusat Statistik Palestina, ada sekitar 350.000 warga Palestina dan 200.000 pemukim illegal Yahudi yang tinggal dalam batas-batas kota di Yerusalem Timur.
Kahil Tufakji, seorang ahli Urusan Pemukiman Palestina, mengatakan kepada Anadolu Agency bahwa usulan Netanyahu untuk mencabut residensi (ijin tempat tinggal) dari 230.000 warga Palestina di Yerusalem tidak hanya menargetkan orang-orang yang tinggal di luar tembok pemisah yang dibangun Israel.
Dia mengatakan proposal Netanyahu itu juga menargetkan warga lingkungan Arab di dalam dinding, termasuk Jabl al-Mukaber, Al-Issawiya, Al-Tur, Shufaat dan Beit Hanina
Menurut angka resmi Palestina,145.000 warga Palestina di Yerusalem tinggal di luar tembok pemisah, sementara 195.000 lainnya hidup di dalamnya.
Tufakji mengatakan bahwa Israel berusaha untuk mengubah persamaan demografi di Yerusalem Timur untuk kepentingan dukungan kekuatan Yahudi.
“Menurut rencana yang disiapkan oleh mantan Perdana Menteri Israel Ehud Olmert, Yerusalem akan menjadi kota mayoritas Yahudi dengan jumlah orang Yahudi 88 persen dan minoritas Arab 12 persen pada tahun 2020,” kata Tufakji.[IZ]