GAZA, (Panjimas.com) – Gerakan Perlawanan Palestina Hamas Sabtu (13/01) akhirnya mengkonfirmasi bahwa pihaknya tidak akan menghadiri pertemuan Dewan Pusat Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) yang digelar Ahad (14/01) dan Senin (15/01).
“Kami telah memutuskan untuk tidak menghadiri pertemuan Dewan Pusat PLO di Ramallah,”demikian pernyataan juru bicara Hamas Hossam Badran, dikutip dari AA.
Badran mengatakan keputusan Hamas tersebut diambil setelah berkonsultasi dengan beberapa kelompok-kelompok Palestina.
“Kami telah menyimpulkan bahwa keadaan saat ini tidak akan memungkinkan Dewan Pusat PLO untuk membuat tinjauan politik yang komprehensif dan bertanggung jawab,” pungkasnya.
Pertemuan Dewan Pusat PLO tersebut digelar berdasarkan seruan Presiden Palestina Mahmoud Abbas bulan lalu untuk membahas langkah-langkah yang harus diambil terhadap Deklarasi Presiden AS Donald Trump yang mengakui Yerusalem sebagai ibukota Israel.
Jumat (12/01) lalu, Stasiun Radio Resmi Palestina mengabarkan bahwa Kepala Biro Politik Hamas Ismail Haniyeh secara resmi mengatakan kepada Ketua Dewan Nasional Palestina PLO, Salim Zanoun, bahwa Hamas tidak akan menghadiri pertemuan tersebut.
Seorang Pemimpin Senior Hamas, yang berbicara secara anonim, mengatakan bahwa “pertemuan tersebut akan diadakan tanpa agenda khusus, yang memperkuat keyakinan kepemimpinan gerakan Hamas bahwa tidak ada keputusan konkret yang akan diambil.”
Gerakan Jihad Islam pada hari Selasa lalu mengumumkan bahwa pihaknya tidak akan berpartisipasi dalam pertemuan tersebut karena akan diadakan di sebuah kota yang diduduki Israel.
Desember lalu, Presiden Palestina Mahmoud Abbas mengumumkan sebuah pertemuan Dewan Pusat Palestina untuk membahas langkah-langkah yang akan diambil terhadap keputusan Presiden AS Donald Trump untuk mengakui Yerusalem sebagai ibukota Israel.
Dewan Pusat PLO diharapkan akan mengadakan pertemuan, dengan tajuk “Yerusalem adalah ibukota abadi Palestina”, pada 14 Januari mendatang.
Tujuan pertemuan tersebut adalah untuk menempa sikap persatuan dalam menghadapi deklarasi Presiden Donald Trump pada bulan lalu yang mengakui Yerusalem sebagai ibukota Israel.
PLO adalah organisasi yang memayungi sebagian besar faksi politik utama Palestina, kecuali Hamas dan Jihad Islam.
Pertemuan terakhir Dewan Pusat PLO diadakan pada tahun 2015 di Ramallah, ibukota administratif Otoritas Palestina.
Pada hari Kamis (04/01), Hamas dan Jihad Islam mengumumkan bahwa pihaknya telah menerima undangan resmi untuk berpartisipasi dalam pertemuan dewan 14 Januari tersebut.
Kedua kelompok, berkomitmen terhadap sebuah kebijakan perlawanan bersenjata melawan pendudukan Israel selama beberapa dekade, dan kedua pihak mengatakan bahwa akan mempertimbangkan tawaran untuk hadir dalam pertemuan Dewan Pusat PLO tersebut.
Ahad (31/12) lalu, Presiden Palestina Mahmoud Abbas mengumumkan bahwa Dewan Pusat PLO akan segera mengadakan sebuah pertemuan darurat untuk membahas “isu-isu penting” yang terkait dengan Yerusalem.
Beberapa pekan lalu, Majelis Umum PBB yang beranggotakan 193 negara anggota Kamis malam (21/12) menggelar sidang khusus darurat mengenai keputusan Presiden Amerika Serikat Donald Trump pada 6 Desember lalu. Tidak seperti di Dewan Keamanan, dalam Majelis Umum PBB, A.S. tidak memiliki hak veto.
Sebanyak 128 anggota memilih mendukung resolusi tersebut, 9 negara menolak dan 35 lainnya abstain.
Sebagaimana diketahui, 3 hari sebelumnya, AS memveto resolusi Dewan Keamanan PBB – yang mendapat dukungan dari 14 anggota Dewan Keamanan tersebut (baik anggota permanen maupun anggota tidak tetap DK PBB). Resolusi DK PBB itu menyerukan larangan pembentukan misi diplomatik AS di Yerusalem.
Hukum internasional memandang wilayah Tepi Barat – termasuk Yerusalem Timur – sebagai “wilayah yang diduduki” dan menganggap semua bangunan permukiman Yahudi di atas tanah itu adalah tindakan ilegal.
Pada hari Rabu (20/12), Trump mengancam untuk memotong bantuan keuangan dari negara-negara yang memilih mendukung resolusi PBB.
Status Yerusalem telah lama dianggap sebagai isu terakhir yang harus ditentukan dalam perundingan damai Israel-Palestina dan keputusan Trump secara luas dipandang sebagai penghalang kesepahaman sejak lama.
Rancangan resolusi PBB tersebut menegaskan bahwa isu Yerusalem adalah status akhir yang harus diselesaikan melalui perundingan langsung antara Palestina dan Israel, sesuai dengan resolusi Dewan Keamanan yang relevan.
Wilayah Yerusalem Timur berada dalam pendudukan Israel sejak 1967, sementara rakyat Palestina terus berjuang untuk mendeklarasikan Yerusalem sebagai ibukota negaranya.
Yerusalem hingga kini tetap menjadi inti konflik Israel-Palestina selama beberapa dekade, sementara rakyat Palestina tetap memperjuangkan Yerusalem Timur yang diduduki Israel sebagai ibu kota negaranya.
Pada bulan April, Rusia mengumumkan pengakuannya atas Yerusalem Barat sebagai ibukota Israel, yang mengungkapkan harapan bahwa separuh bagian timur kota Yerusalem pada akhirnya dapat berfungsi sebagai ibukota Palestina
Khususnya, dalam pengumumannya pekan lalu, Trump menekankan bahwa pemerintahannya belum mengambil posisi mengenai “batas-batas spesifik kedaulatan Israel di Yerusalem”.[IZ]