JENEWA, (Panjimas.com) – Kepala Badan Hak Asasi Manusia PBB baru-baru ini mengecam keras peningkatan serangan udara dan serangan darat secara intensif oleh pasukan rezim Bashar al-Assad dan sekutu-sekutunya yang menewaskan hampir 100 nyawa dalam 10 hari terakhir di Ghouta Timur Suriah.
“Sejak 31 Desember lalu, setidaknya 85 warga sipil, termasuk 21 perempuan dan 30 anak-anak, telah dibunuh dan setidaknya 183 korban lainnya luka-luka di Ghouta Timur, di pinggiran kota Damaskus, demikian menurut informasi yang dikumpulkan oleh Kantor Hak Asasi Manusia PBB,” jelas Kepala Badan Hak Asasi Manusia PBB, Zeid Ra’ad Al-Hussein dalam pernyataannya, dilansir dari Anadolu.
“Sedikitnya dua fasilitas medis terkena dampak serangan udara selama periode ini, hingga menewaskan seorang pekerja medis dan membuat satu fasilitas medis tidak berfungsi,” imbuhnya.
Al-Hussein mengatakan upaya untuk mengevakuasi kasus-kasus medis mendesak dari Ghouta Timur gagal, dan Ia mengingatkan rezim Assad kewajibannya berdasarkan hukum humaniter internasional.
Zeid Ra’ad Al-Hussein juga mengungkapkan “keprihatinan serius” tentang situasi kemanusiaan dimana sekitar 2 juta orang di Idlib, yang mengalami dampak peningkatan pertempuran di Idlib.
Baik wilayah Ghouta Timur dan Idlib telah dianggap sebagai daerah de-eskalasi militer yang disepakati pada bulan Mei 2017 lalu di bawah perundingan Astana yang dijamin Rusia, Turki dan Iran, kebijakan zona de-eskalasi bertujuan untuk mengakhiri kekerasan dan memperbaiki situasi kemanusiaan di Suriah.
Wilayah Ghouta Timur merupakan rumah bagi sekitar 400.000 penduduk Suriah. Ghouta Timur terletak di pinggiran kota Damaskus, dan wilayah ini masih dalam pengepungan pasukan rezim Assad sejak akhir 2012, sehingga mengakibatkan beberapa akses kemanusiaan lumpuh.
Selama pembicaraan damai di ibukota Kazakhstan, Astana, tiga negara penjamin, Turki, Iran dan Rusia, sepakat untuk menetapkan zona de-eskalasi di Idlib dan di beberapa bagian Provinsi Aleppo, Latakia dan Hama.
Sejak Maret 2015, Idlib tidak lagi berada di bawah kendali rezim Assad dan didominasi oleh kelompok oposisi militer dan organisasi bersenjata anti-rezim Assad.
Sejak awal 2011, Suriah telah menjadi medan pertempuran, ketika rezim Assad menumpas aksi protes pro-demokrasi dengan keganasan tak terduga — aksi protes itu 2011 itu adalah bagian dari rentetan peristiwa pemberontakan “Musim Semi Arab” [Arab Spring].
Sejak saat itu, lebih dari seperempat juta orang telah tewas dan lebih dari 10 juta penduduk Suriah terpaksa mengungsi, menurut laporan PBB.
Sementara itu Lembaga Pusat Penelitian Kebijakan Suriah (Syrian Center for Policy Research, SCPR) menyebutkan bahwa total korban tewas akibat konflik lima tahun di Suriah telah mencapai angka lebih dari 470.000 jiwa. [IZ]