Jakarta (Panjimas.com) – Tahun 2018 diberi stempel tahun politik. Entah siapa yang memulai. Yang jelas di tahun ini ada 171 daerah yang melakukan Pilkada serentak, terdiri dari 17 Provinsi, 39 kota, dan 115 Kabupaten. Karena jumlah yang besar mungkin orang menganggap ini tahun politik, padahal 2017 pun ada 101 daerah yang melakukan Pilkada.
“Terlepas dari itu, membincangkan Pilkada sangat erat dengan media, sebab tidak bisa dipisahkan. Namun juga, di tema yang sedikit berbeda, kita akan menemukan kehawatiran publik akan tahun politik ini,” kata Roni Tabroni, Pengurus Majelis Pustaka dan Informasi PP Muhammadiyah dalam siaran pers yang diterima Panjimas.
Apa sebab, dalam hiruk pikuk politik, sering kali diwarnai dinamikanya yang khas. Politik identik dengan kegaduhan, konflik baik di dunia nyata maupun di dunia maya, perang urang sarap, sampai kerusuhan massal.
Karena kekhawatiran itulah maka ada pihak juga yang ingin mengganti penyebutan tahun politik dengan tahun demokrasi. Alasannya, penyebutan demokrasi dirasa lebih adem dibanding politik yang idenik dengan konflik. Tetapi, dalam demokrasi juga biasanya ada embel-embelnya ketika menghadapi Pilkada atau pemilu yaitu “pesta demokrasi.” Penambahan kata “pesta” memberikan asosiasi kepada sebuah aktivitas yang riuh.
“Artinya, tidak ada pilihan kata yang bisa mewakili kata hati dari publik yang sesungguhnya berkeinginan bahwa Pilkada tidak mengganggau kondisifitas sosial dan tetap harmonis. Suara hati publik, termasuk elit politik, dari hati yang paling dalam sesungguhnya mengingikan sebuah kondisi yang tetap aman dan tidak berujung pada konflik. Kehendak untuk tetap damai ini menjadi kebutuhan bersama, siapapun mereka, apapun partai dan pilihan politiknya.”
Walaupun demikian, berbicara Pilkada, seperti halnya juga pemilu dan Pilpres, kata Roni, memiliki resiko yang tidak ringan, karena menentukan nasib bangsa dan masyarakat lima tahun ke depan. Di sinilah sesungguhnya letak pentingnya Pilkada. Berbicara masa depan masyarakat lima tahun ke depan jauh lebih penting dari proses pestanya itu sendiri. Jika salah dalam menentukan pemimpin ke depan, maka nasim masyarakat akan tergadai.
“Saya kira, dalam konteks inilah kita berbicara pentingnya kehadiran media massa Islam. Dimana masyarakat membutuhkan edukasi yang paling tulus dari media pada ajang Pilkada, bukannya menjadikan Pilkada sebagai komoditas ekonomi dan kekuasaan melalui media massa.”
Dalam pangamatan Roni, sudah lama masyarakat muak dengan keberadaan media-media mainstream yang cenderung partisan dan tidak melakukan fungsi edukasinya kepada masyarakat. Yang terjadi, media hanya dijadikan saluran hasrat politik dari pemilik dan penguasa tertentu. Masyarakat menjadi korban dari konten media yang cenderung memframing sebuah objek berita berdasar pada kepentingan tadi.
“Media Islam, pada dasarnya juga memiliki kepentingan seperti halnya media-media umum lainnya. Hanya saja, letak perbedaannya terdapat pada misi kehadiran medianya dan motif dari pemberitaannya.”
Misi kehadiran media, lanjut Roni, adalah media massa yang lahir dengan sejumlah kepentingan, dan media Islam tentu saja lahir dengan misi yang mulia, berdasar pada kebutuhan dakwah, maka di dalamnya pasti dibarengi dengan moral dan etika. Sedangkan motif pemberitaan nanti akan terlihat dari target pemberitaan, jika media pada umumnya lebih mendewakan materi dan kepentingan politik, maka media Islam lebih berorientasi pada kemaslahatan ummat.
“Maka konten-konten yang selayaknya ada dalam media Islam adalah pesan-pesan yang mengandung unsur edukasi. Pilkada tidak dimaknai sebagai sesuatu yang berlebihan, tetapi hanya sebagai momentum untuk meningkatkan kebajikan dalam bentuk informasi yang mendidik sebagaimana halnya media Islam berjalan selama ini. Jika Pilkada bagi masyarakat cukup menakutkan, maka oleh media Islam dibalik menjadi sesuatu yang menyejukkan.”
Karenanya, ada dua agenda yang setidaknya dapat diperankan oleh media massa Islam pada momentum Pilkada ini. Pertama, agenda jangka pendek, Pilkada sebagai momentum untuk mencerdaskan masyarakat lewat kemasan-kemasan informasi yang sejuk dan inspiratif. Selama Pilkada banyak orang yang menghindari media karena jengah dengan berita-berita politik.
Ketika publik menghindar berarti ada yang salah dengan media kita, dan disitulah ruang kosong dimana media Islam harus mengambil peran untuk mengembalikan minat masyarakat. Sebab jika masyarakat (khususnya ummat Islam) kemudian menjadi apatis politik, maka nanti yang memanfaatkan adalah pihak lain yang tidak memiliki kredibilitas dan kualitas baik sebagaimana yang diharapkan. Itu artinya ummat Islam menyerahkan resiko masa depan ummat lima tahun ke depan kepada pihak lain.
Kedua, agenda jangka panjang, yaitu membangun visi yang jauh ke depan tentang bangunan peradaban sebuah bangsa yang disusun dari kondisi daerah satu dengan lainnya. Di sini media Islam mestinya menyusun agenda, mau seperti apa Indonesia sepuluh, dua puluh, atau lima puluh tahun ke depan. Dari mulai daerah, media Islam harus mulai membenahi sehingga masyarakat dengan segala potensinya tidak jatuh kepada pihak-pihak yang hanya mementingkan urusan dunia.
Untuk menghindari dosa politik (membuat orang apatis politik), maka media Islam harus menjadi bagian paling depan dalam melakukan edukasi politik dengan didasarkan pada akhlak dan moral yang tinggi.
“Pada ajang Pilkada juga media Islam dapat menunjukkan kredibilitasnya untuk menampakkan Islam yang rahmatan lil alamin, dengan muatan wawasan global. Sehingga, ummat tidak picik melihat Pilkada bahkan menjadi aktif dan produktif berpartisipasi dalam memajukan demokrasi di daerahnya masing-masing,” ungkap Roni. (ass)