HATAY, (Panjimas.com) – Seorang pengacara yang mengalami penyiksaan dan pemukulan brutal selama 3 tahun di penjara Suriah baru-baru ini berbagi pengalaman mengerikannya melalui sebuah buku baru yang dirilisnya.
Cerita fiksi Samer Tlass mengenai hari-hari mengerikan tersebut menggambarkan apa yang dia sebut – dalam judul buku – “Escape from Prison Hell”, “Pelarian dari Penjara Neraka”.
Smaer Tlass, yang kini berusia 40 tahun itu, menulis novel tersebut setelah berlindung di Provinsi Hatay, Turki bagian Selatan, yang berbatasan langsung dengan Suriah.
Dari masa hukumannya, Samer Tlass mengatakan, “Itu adalah tiga tahun paling menakutkan yang pernah saya jalani”, dilansir dari Anadolu.
“Kata-kata saja tak cukup mengungkapkan hari-hari itu … tapi saya ingin menuliskan kenangan saya sehingga orang-orang bisa tahu apa yang terjadi di sana.”
Novel dengan 130 halaman tersebut kini telah diterjemahkan ke dalam bahasa Turki dan Inggris.
Tlass, adalah Ayah dari 3 anak, Ia ditangkap oleh pasukan rezim Assad pada tahun 2011 saat digelarnya aksi demonstrasi anti-rezim di Damaskus, ketika perang sipil berkecamuk.
Selama 3 tahun Samer Tlass ditahan di 2 penjara rezim Assad yang berbeda dan mengalami sengatan listrik yang brutal, pemukulan, dan kelaparan berat, uajrnya menceritakan.
“Saya ditangkap meski saya tidak membahayakan kehidupan atau harta milik siapa pun,” pungkasnya.
“Saya berjuang dengan kelaparan, sengatan listrik, pemukulan, dan berbagai penyakit di penjara militer”, ungkapnya.
Tapi, Tlass menambahkan, “Saya tidak pernah kehilangan harapan.”
Kebebasan, Berlanjut Mimpi Buruk
Pada tahun 2014, Tlass dibebaskan dalam pertukaran tahanan antara pasukan oposisi dan pasukan rezim Assad.
“Setelah dipenjarakan, itu benar-benar mimpi buruk,” kenangnya.
“Apartemen saya dan lingkungan tempat saya tinggal hancur total. Tidak ada tempat bagi kami untuk hidup”.
“Untuk beberapa saat saya berlindung di Turki”, imbuhnya.
Tlass telah tinggal bersama keluarganya di Distrik Reyhanli Hatay selama lebih dari 3 tahun sekarang.
Harapan terindahnya adalah untuk mengakhiri kekerasan di Suriah, termasuk di penjara.
“Saya harap tidak ada yang tersisa di penjara negara saya,” imbuhnya.
“Karena apa yang terjadi di tempat itu tidak berbeda dengan neraka”, tandasnya.
Sejak awal 2011, Suriah telah menjadi medan pertempuran, ketika rezim Assad menumpas aksi protes pro-demokrasi dengan keganasan tak terduga — aksi protes itu 2011 itu adalah bagian dari rentetan peristiwa pemberontakan “Musim Semi Arab” [Arab Spring].
Sejak saat itu, lebih dari seperempat juta orang telah tewas dan lebih dari 10 juta penduduk Suriah terpaksa mengungsi, menurut laporan PBB.
Sementara itu Lembaga Pusat Penelitian Kebijakan Suriah (Syrian Center for Policy Research, SCPR) menyebutkan bahwa total korban tewas akibat konflik lima tahun di Suriah telah mencapai angka lebih dari 470.000 jiwa.
Turki menampung lebih banyak pengungsi Suriah daripada negara lain di dunia. Negara ini telah menghabiskan sekitar $25 miliar dollar untuk membantu dan melindungi pengungsi Suriah sejak awal perang saudara berkecamuk.[IZ]