Depok (Panjimas.com) – Pemerintah Kota Depok dan RRI lepas tangan serta kurang bersemangat menyelamatkan situs sejarah itu. Bahkan Pemerintah Kota Depok malas menindak lanjuti Rumah Cimanggis yang sudah terdaftar di BPCB (Badan Pelestari Cagar Budaya) Serang sejak 2011 dengan No. 009.02.24.04.11 agar resmi sebagai cagar budaya.
Demikian Siaran Pers yang disampaikan oleh Sejarawan JJ Rizal bersama pegiat lingkungan dan Komunitas Sejarah Depok di depan Rumah Cimanggis Depok tadi pagi, Ahad (7/1/2018). Hadir dalam kegiatan Peduli Sejarah tersebut,antara lain: Ratu Farah Diba (Ketua Depok Heritage Community (DHC), Heri Syaefudin (Ketua Forum Komunitas Hijau (FKH) Kota Depok, Ferdy Jonathans (Pengurus Yayasan Lembaga Cornelis Chastelein- Depok), Oman Fathurahman (Staf Ahli Menteri Agama), Yahya Andi Saputra (Lembaga Kebudayaan Betawi), Roni Adi (Komunitas Betawi Kita) dan sebagainya.
“Di tengah rentetan bencana penghancuran dan ketakpedulian Pemerintah Kota Depok itu, ironisnya justru Pemerintah Pusat menggelontorkan uang Rp 400 milyar untuk mendukung Yayasan UIII menggunakan lahan situs bersejarah dari abad ke-18 itu,” ungkapnya.
Seperti diketahui, Proyek UIII ini didukung oleh Kementerian Agama dan Wakil Presiden RI. Bahkan sempat ada informasi peletakan batu pertamanya akan dilakukan oleh Presiden Jokowi. (https://www.pikiran-rakyat.com/jawa-barat/2017/12/17/uiii-segera-dibangun-situs-bersejarah-depok-rumah-cimanggis-di-jurang
Ironi semakin besar sebab ada pernyataan Rumah Cimanggis: “Dirobohkan,” kata Kaharuddin selaku Panitia Pembangunan UIII sekaligus Utusan Sekretariat Wakil Presiden ( https://www.pikiran-rakyat.com/jawa-barat/2017/12/08/pembangunan-uiii-bakal-menggusur-bangunan-bersejarah-di-depok-415510Terlebih
Beredar informasi bahwa Rumah Cimanggis tidak ada dalam master plan UIII. Sementara beredar pula informasi bahwa dalam master plan UIII itu Rumah Cimanggis akan diselamatkan dan dikonservasi dengan cara dimasukkan dalam area UIII.
“Tetapi, sudah banyak kasus bahwa upaya penyelamatan dengan mamasukkan situs ke dalam proyek infrastruktur besar malah menjauhkannya dari publik dan membuat situs sejarah tinggal ornamen yang hidup segan mati tak mau.”
Bisa disebutkan, seperti nasib candi di area pendidikan UII Yogyakarta yang akhirnya hanya jadi ruang eksklusif. Apalagi dalam area apartemen seperti rumah bersejarah keluarga Khou Kim An di dekat Glodok. Serupa nasib Rumah Pondok Cina di dalam pusat perbelanjaan di Depok.
Situasi itu menyedihkan karena bertolak belakang dengan menaiknya semangat warga Depok memperjuangkan penambahan ruang publik yang krisis. Aneka komunitas tumbuh untuk memperjuangan agenda besar itu yang salah satunya adalah penyelamatan situs-situs sejarah agar kota itu memiliki jejak masa lalu sebagai penanda keberadaannya yang historis dan beradab. (Ass)