JAKARTA, (Panjimas.com) – Dari catatan pemantauan dan pengaduan pelanggaran hak anak sepanjang tahun 2017, LPAI menilai belum adanya progress positif dari upaya pemenuhan dan perlindungan anak baik oleh negara, pemerintah maupun masyarakat.
“Anak-anak masih pada posisi pihak objek sasaran pembangunan atau program, belum berposisi sebagai subjek,” kata Henny Rusmiati dalam rilisnya, Kamis (28/12/2017).
Keengganan para pihak untuk menempatkan anak-anak sebagai stake holder utama yang sederajat dengan komunitas Iainnya akan semakin menjauhkan negara dari cita-cita ideal perlindungan.
Oleh karenanya, LPAI meminta pemerintah dan negara agar mengubah standar capaian program perlindungan anak. “Dari yang awalnya hanya berdasar jumlah, ceremonial dan aksi-aksi di dalam gedung, sudah saatnya mulai memprioritaskan efektivitas kebijakan tersebut dalam pola preventif, menyelesaikan masalah-masalah anak secara Iangsung, serta pelaksanaan dari setiap hukum,” lanjutnya.
LPAI mendorong pemerintah kabupaten/kota, propinsi dan pusat untuk membentuk Kelompok Kerja (Pokja) perlindungan anak mulai dari tingkat rt dan rw di wilayah masing-masing.
Tidak hanya itu, LPAI juga mengajak kepada setiap keluarga di Indonesia untuk menciptakan lingkungan rumah dan keluarga yang berbudaya Ramah Anak. “(Hal ini) sebagai upaya menjauhkan kekerasan dan pola pergaulan yang salah terhadap anak,” terangnya.
Untuk mencegah kasus-kasus tawuran dan kekerasan dalam lingkungan pendidikan, LPAI meminta Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan supaya segera membuat peraturan pelaksanaan yang mewajibkan lingkungan sekolah menjadi lingkungan atau zona anti kekerasan terhadap anak.
“Mendesak aparat penegak hukum untuk berpihak kepada kepentingan terbaik anak dalam pemeriksaan dan penanganan anak-anak yang berhadapan dengan hukum.” pungkasnya.[DP]