JAKARTA, (Panjimas.com) – Kementerian Luar Negeri Indonesia Rabu (27/12) lalu mengutuk keras langkah Guatemala untuk memindahkan Kedutaan Besarnya dari Tel Aviv ke Yerusalem.
“Indonesia mencela keputusan Guatemala, yang berencana memindahkan kedutaannya di Israel [dari Tel Aviv] ke Yerusalem, yang tidak sesuai dengan hukum internasional,” ujar Kemlu Indonesia melalui akun resminya di Twitter.
Presiden Guatemala Jimmy Morales Ahad (24/12) mengumumkan bahwa negaranya akan “mengembalikan” kedutaan besarnya dari Israel [Tel Aviv] ke Yerusalem, tempat kedubes itu berada sampai tahun 1980, setelah menerima sambungan telepon Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu.
Langkah Guatemala tersebut utamanya mendukung keputusan kontroversial Presiden AS Donald Trump pada 6 Desember lalu yang mendeklarasikan Yerusalem sebagai ibu kota Israel dan memindahkan Kedutaan Washington dari Tel Aviv ke Al-Quds Yerusalem.
Sambil menekankan pentingnya solusi 2 negara untuk konflik Israel-Palestina, Kemlu RI mengatakan: “Mempertahankan kesepakatan internasional yang terkait dengan status quo Yerusalem penting untuk pencapaian solusi dua negara terhadap konflik Palestina-Israel.”
Majelis Umum PBB yang beranggotakan 193 negara anggota Kamis malam (21/12) menggelar sidang khusus darurat mengenai keputusan Presiden Amerika Serikat Donald Trump pada 6 Desember lalu. Tidak seperti di Dewan Keamanan, dalam Majelis Umum PBB, A.S. tidak memiliki hak veto.
Sebanyak 128 anggota memilih mendukung resolusi tersebut, 9 negara menolak dan 35 lainnya abstain.
Sebagaimana diketahui, 3 hari sebelumnya, AS memveto resolusi Dewan Keamanan PBB – yang mendapat dukungan dari 14 anggota Dewan Keamanan tersebut (baik anggota permanen maupun anggota tidak tetap DK PBB). Resolusi DK PBB itu menyerukan larangan pembentukan misi diplomatik AS di Yerusalem.
Hukum internasional memandang wilayah Tepi Barat – termasuk Yerusalem Timur – sebagai “wilayah yang diduduki” dan menganggap semua bangunan permukiman Yahudi di atas tanah itu adalah tindakan ilegal.
Pada hari Rabu (20/12), Trump mengancam untuk memotong bantuan keuangan dari negara-negara yang memilih mendukung resolusi PBB.
Status Yerusalem telah lama dianggap sebagai isu terakhir yang harus ditentukan dalam perundingan damai Israel-Palestina dan keputusan Trump secara luas dipandang sebagai penghalang kesepahaman sejak lama.
Rancangan resolusi PBB tersebut menegaskan bahwa isu Yerusalem adalah status akhir yang harus diselesaikan melalui perundingan langsung antara Palestina dan Israel, sesuai dengan resolusi Dewan Keamanan yang relevan.
Wilayah Yerusalem Timur berada dalam pendudukan Israel sejak 1967, sementara rakyat Palestina terus berjuang untuk mendeklarasikan Yerusalem sebagai ibukota negaranya.
Yerusalem hingga kini tetap menjadi inti konflik Israel-Palestina selama beberapa dekade, sementara rakyat Palestina tetap memperjuangkan Yerusalem Timur yang diduduki Israel sebagai ibu kota negaranya.
Pada bulan April, Rusia mengumumkan pengakuannya atas Yerusalem Barat sebagai ibukota Israel, yang mengungkapkan harapan bahwa separuh bagian timur kota Yerusalem pada akhirnya dapat berfungsi sebagai ibukota Palestina
Khususnya, dalam pengumumannya pekan lalu, Trump menekankan bahwa pemerintahannya belum mengambil posisi mengenai “batas-batas spesifik kedaulatan Israel di Yerusalem”.[IZ]