ISTANBUL, (Panjimas.com) – Aksi pawai massa yang “membisu” digelar Sabtu sore (23/12) di Istanbul, Turki, dalam rangka solidaritas terhadap ribuan warga serta ratusan anak Palestina yang dijjebloskan ke penjara-penjara Israel.
Aksi long-march membisu tersebut diorganisir oleh para anggota pemuda organisasi bantuan Turki IHH (Humanitarian Relief Foundation).
Massa berkumpul di depan Galatasaray High School dengan berbaris secara berurutan dan berjalan hingga ke Masjid Sisli.
Kerumunan yang berjumah ratusan orang mulai berjalan sambil membentangkan spanduk-spanduk dalam bahasa Turki, Inggris, Arab dan Ibrani, dengan pesan menuntut kebebasan bagi Fawzi al-Juneidi dan Ahed al-Tamimi.
Selama aksi demonstrasi “bisu” tersebut, seorang pengacara sekaligus anggota Dewan IHH Gulden Sonmez mengatakan bahwa aksi demonstrasi bisu bertujuan untuk “berteriak” bahwa anak-anak Palestina yang ditangkap tidaklah sendiri.
“Anak-anak Palestina adalah anak-anak dari semua Muslim. Kami akan memantau kasus mereka,” pungkasnya.
Fawzi Al-Juneidi, merupakan seorang pemuda Palestina, yang menjadi simbol gelombang protes terhadap deklarasi AS atas Yerusalem sebagai ibukota Israel.
Al-Juneidi, yang masih berusia 16 tahun itu, ditahan pada tanggal 7 Desember saat terlibat bentrokan di kota Hebron di Tepi Barat.
Fawzi al-Juneidi akan tetap dipenjarakan sampai hari Senin (18/12), saat dirinya kemudian akan menghadapi persidangan awal di Pengadilan Militer Israel serta tuntutan resmi diajukan terhadap dirinya, Rabu (13/12).
Kamis (07/12) lalu, Fawzi al-Juneidi berulang kali dipukuli, ditendang dan diseret di lapangan oleh puluhan tentara Israel di kota Hebron, Tepi Barat. Pemuda Palestina itu kemudian ditutup matanya sebelum diseret ke Penjara Militer Ofer Israel.
“Pemuda itu dituding “melempar batu ke arah tentara”, ujar pamannya, Rashad al-Juneidi, saat diwawancarai Anadolu Agency setelah sidang pengadilan di penjara.
“Keponakan saya menolak klaim jaksa bahwa dia telah melempar batu ke tentara Israel. Dia bilang, dirinya keluar untuk memenuhi beberapa kebutuhan keluarganya dan terjebak di tengah lokasi insiden,” pungkas Rashad.
“Dia bahkan menunjukkan bahwa sejumlah besar tentara menukik ke arahnya dan menutupi matanya saat dia berusaha melepaskan diri dari bom-bom suara dan pergi dari lokasi kejadian”, imbuh pamannya itu.
Fawzi Al-Juneidi segera menjadi dikenal luas setelah fotonya menjadi viral di media sosial.
Sementara itu, Selasa (19/12) lalu, pasukan Israel menahan seorang warga Palestina berusia 16 tahun, kali ini seorang gadis bernama Ahed al-Tamimi dalam serangan saat malam hari di wilayah Tepi Barat.
Ahed al-Tamimi ditahan setelah pasukan Israel menyerbu rumahnya di desa Nabi Saleh di wilayah Tepi Barat bagian Utara.
Di bawah kebijakan penahanan administratif, warga Palestina dapat ditahan tanpa proses pengadilan untuk periode mulai dari 6 bulan hingga 1 tahun.
Pasukan Israel seringkali menyerang dan menyerbu rumah-rumah Palestina di Tepi Barat dan menahan warga Palestina setempat, dengan mengklaim bahwa para warga Palestina itu “masuk dalam daftar pencarian orang [DPO]” Badan Keamanan Israel.
Lebih dari 6.500 warga Palestina, termasuk 300 anak-anak, saat ini mendekam di seluruh penjara di negara yang memproklamirkan diri sebagai negara Yahudi itu, demikian menurut data resmi Palestina.
Identitas Arab-Islam Yerusalem
Dalam khotbahnya Jumat (22/12), Imam Masjid Al-Aqsa Sheikh Mohamed Salim mengecam keras keputusan Presiden AS Donald Trump pada 6 Desember lalu yang mendeklarasikan Yerusalem sebagai ibu kota Israel.
Dalam khutbahnya Ia menekankan karakter dan identitas Arab-Islam di kota suci tersebut, Syaikh Mohamed Salim tak lupa mengucapkan terima kasih kepada negara-negara yang mendukung resolusi yang disahkan dalam Majelis Umum PBB yang menuntut AS untuk membatalkan keputusannya atas Yerusalem, dikutip dari Anadolu.
Majelis Umum PBB yang beranggotakan 193 negara anggota Kamis malam (21/12) menggelar sidang khusus darurat mengenai keputusan Presiden Amerika Serikat Donald Trump pada 6 Desember lalu. Tidak seperti di Dewan Keamanan, dalam Majelis Umum PBB, A.S. tidak memiliki hak veto.
Sebanyak 128 anggota memilih mendukung resolusi tersebut, 9 negara menolak dan 35 lainnya abstain.
Sebagaimana diketahui, 3 hari sebelumnya, AS memveto resolusi Dewan Keamanan PBB – yang mendapat dukungan dari 14 anggota Dewan Keamanan tersebut (baik anggota permanen maupun anggota tidak tetap DK PBB). Resolusi DK PBB itu menyerukan larangan pembentukan misi diplomatik AS di Yerusalem.
Hukum internasional memandang wilayah Tepi Barat – termasuk Yerusalem Timur – sebagai “wilayah yang diduduki” dan menganggap semua bangunan permukiman Yahudi di atas tanah itu adalah tindakan ilegal.
Pada hari Rabu (20/12), Trump mengancam untuk memotong bantuan keuangan dari negara-negara yang memilih mendukung resolusi PBB.
Status Yerusalem telah lama dianggap sebagai isu terakhir yang harus ditentukan dalam perundingan damai Israel-Palestina dan keputusan Trump secara luas dipandang sebagai penghalang kesepahaman sejak lama.
Rancangan resolusi PBB tersebut menegaskan bahwa isu Yerusalem adalah status akhir yang harus diselesaikan melalui perundingan langsung antara Palestina dan Israel, sesuai dengan resolusi Dewan Keamanan yang relevan.
Wilayah Yerusalem Timur berada dalam pendudukan Israel sejak 1967, sementara rakyat Palestina terus berjuang untuk mendeklarasikan Yerusalem sebagai ibukota negaranya.
Yerusalem hingga kini tetap menjadi inti konflik Israel-Palestina selama beberapa dekade, sementara rakyat Palestina tetap memperjuangkan Yerusalem Timur yang diduduki Israel sebagai ibu kota negaranya.
Pada bulan April, Rusia mengumumkan pengakuannya atas Yerusalem Barat sebagai ibukota Israel, yang mengungkapkan harapan bahwa separuh bagian timur kota Yerusalem pada akhirnya dapat berfungsi sebagai ibukota Palestina
Khususnya, dalam pengumumannya pekan lalu, Trump menekankan bahwa pemerintahannya belum mengambil posisi mengenai “batas-batas spesifik kedaulatan Israel di Yerusalem”.[IZ]