KUALA LUMPUR, (Panjimas.com) – Perdana Menteri Malaysia Najib Razak baru-baru ini menyerukan kepada umat Islam di seluruh dunia untuk bersatu melawan keputusan Presiden Amerika Serikat Donald Trump yang mendeklarasikan Yerusalem sebagai ibu kota Israel.
Dalam aksi demonstrasi massa yang digelar Jumat (22/12) lalu di ibukota administratif Malaysia, Putrajaya, PM Najib Razak menuturkan : “Presiden [Turki] [Recep Tayyip] Erdogan menghubungi saya setelah A.S.
“Pernyataan mengenai Jerusalem dan Ia [Erdogan] mengundang saya [Najib Razak] ke sesi yang KTT luar biasa dari Konferensi Organisasi Kerjasama Islam (OKI). Saya mengadakan pertemuan lainnya pada tanggal itu namun tidak ada yang lebih penting dari masalah ini”, dikutip dari AA.
PM Najib Razak memuji upaya Turki dalam masalah ini dan menekankan perlunya persatuan di kalangan umat Islam melawan keputusan kontroversial AS tersebut.
“Mari kita lupakan perbedaan politik di antara kita. Kita bisa bersatu melawan permasalahan in. Tidak penting apakah kita hijau, merah, oranye atau warna lain Selama kita memiliki kesamaan, kita bisa mengatasi masalah ini,” ujarnya menambahkan.
Mengenai ancaman Trump untuk memotong dana bantuan keunagan ke negara-negara yang memilih untuk mencela keputusannya mendeklarasikan Yerusalem sebagai ibukota Israel, PM Razak mengatakan bahwa A.S. telah menjadi orang yang meminta “bantuan” dari negara-negara tersebut dalam “banyak hal”.
Aksi Protes massa berlangsung tak lama usai sholat Jumat di Masjid Putra di ibukota administratif Putrajaya. Aksi tersebut diikuti hampir 1.500 orang dari berbagai partai politik dan kelompok masyarakat sipil.
Majelis Umum PBB yang beranggotakan 193 negara anggota Kamis malam (21/12) menggelar sidang khusus darurat mengenai keputusan Presiden Amerika Serikat Donald Trump pada 6 Desember lalu. Tidak seperti di Dewan Keamanan, dalam Majelis Umum PBB, A.S. tidak memiliki hak veto.
Sebanyak 128 anggota memilih mendukung resolusi tersebut, 9 negara menolak dan 35 lainnya abstain.
Sebagaimana diketahui, 3 hari sebelumnya, AS memveto resolusi Dewan Keamanan PBB – yang mendapat dukungan dari 14 anggota Dewan Keamanan tersebut (baik anggota permanen maupun anggota tidak tetap DK PBB). Resolusi DK PBB itu menyerukan larangan pembentukan misi diplomatik AS di Yerusalem.
Hukum internasional memandang wilayah Tepi Barat – termasuk Yerusalem Timur – sebagai “wilayah yang diduduki” dan menganggap semua bangunan permukiman Yahudi di atas tanah itu adalah tindakan ilegal.
Pada hari Rabu (20/12), Trump mengancam untuk memotong bantuan keuangan dari negara-negara yang memilih mendukung resolusi PBB.
Status Yerusalem telah lama dianggap sebagai isu terakhir yang harus ditentukan dalam perundingan damai Israel-Palestina dan keputusan Trump secara luas dipandang sebagai penghalang kesepahaman sejak lama.
Rancangan resolusi PBB tersebut menegaskan bahwa isu Yerusalem adalah status akhir yang harus diselesaikan melalui perundingan langsung antara Palestina dan Israel, sesuai dengan resolusi Dewan Keamanan yang relevan.
Wilayah Yerusalem Timur berada dalam pendudukan Israel sejak 1967, sementara rakyat Palestina terus berjuang untuk mendeklarasikan Yerusalem sebagai ibukota negaranya.
Yerusalem hingga kini tetap menjadi inti konflik Israel-Palestina selama beberapa dekade, sementara rakyat Palestina tetap memperjuangkan Yerusalem Timur yang diduduki Israel sebagai ibu kota negaranya.
Pada bulan April, Rusia mengumumkan pengakuannya atas Yerusalem Barat sebagai ibukota Israel, yang mengungkapkan harapan bahwa separuh bagian timur kota Yerusalem pada akhirnya dapat berfungsi sebagai ibukota Palestina
Khususnya, dalam pengumumannya pekan lalu, Trump menekankan bahwa pemerintahannya belum mengambil posisi mengenai “batas-batas spesifik kedaulatan Israel di Yerusalem”.[IZ]