GAZA, (Panjimas.com) – “A.S. mungkin saja mengakui Israel sebagai negara Yahudi,” ujar Kepala Biro Politik Hamas Ismail Haniyeh, Sabtu (23/12).
Saat memberikan sambutannya dalam sebuah konvensi lokal di Kota Gaza, Haniyeh menuturkan bahwa Hamas telah memperoleh informasi bahwa Washington mungkin saja akan mengambil keputusan baru mengenai Yerusalem dan Palestina.
“Kami memiliki informasi bahwa pemerintah A.S. bisa jadi mengakui Israel sebagai negara Yahudi, mencaplok permukiman dan menghapuskan hak-hak rakyat Palestina untuk kembali [ke tahah miliknya],” pungkasnya, tanpa menjelaskan dari mana dia mendapatkan informasi itu, dikutip dari Anadolu.
Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu telah menuntut pengakuan Israel sebagai ibukota Yahudi untuk menghidupkan kembali perundingan perdamaian dengan Palestina, yang runtuh pada tahun 2014 lalu.
Warga Palestina khawatir bahwa dengan menerima tuntutan Netanyahu, maka dapat meniadakan hak pengembalian para pengungsi Palestina dari perang yang telah dimulai sejak tahun 1948 itu sampai apa yang terjadi sekarang ini, dalam konflik Israel-Palestina.
Kepala Biro Politik Hamas mendesak peninjauan kembali proses perdamaian Timur Tengah.
“Otoritas Palestina diminta untuk mengambil posisi yang jelas mengenai kesepakatan perdamaian Oslo dan koordinasi keamanan dengan Israel,” ujarnya.
Haniyeh menekankan bahwa Yerusalem akan tetap menjadi ibu kota Palestina. “Setiap langkah yang diambil oleh pendudukan Israel tidak sah,” tegasnya.
Identitas Arab-Islam Yerusalem
Dalam khotbahnya Jumat (22/12), Imam Masjid Al-Aqsa Sheikh Mohamed Salim mengecam keras keputusan Presiden AS Donald Trump pada 6 Desember lalu yang mendeklarasikan Yerusalem sebagai ibu kota Israel.
Dalam khutbahnya Ia menekankan karakter dan identitas Arab-Islam di kota suci tersebut, Syaikh Mohamed Salim tak lupa mengucapkan terima kasih kepada negara-negara yang mendukung resolusi yang disahkan dalam Majelis Umum PBB yang menuntut AS untuk membatalkan keputusannya atas Yerusalem, dikutip dari Anadolu.
Majelis Umum PBB yang beranggotakan 193 negara anggota Kamis malam (21/12) menggelar sidang khusus darurat mengenai keputusan Presiden Amerika Serikat Donald Trump pada 6 Desember lalu. Tidak seperti di Dewan Keamanan, dalam Majelis Umum PBB, A.S. tidak memiliki hak veto.
Sebanyak 128 anggota memilih mendukung resolusi tersebut, 9 negara menolak dan 35 lainnya abstain.
Sebagaimana diketahui, 3 hari sebelumnya, AS memveto resolusi Dewan Keamanan PBB – yang mendapat dukungan dari 14 anggota Dewan Keamanan tersebut (baik anggota permanen maupun anggota tidak tetap DK PBB). Resolusi DK PBB itu menyerukan larangan pembentukan misi diplomatik AS di Yerusalem.
Hukum internasional memandang wilayah Tepi Barat – termasuk Yerusalem Timur – sebagai “wilayah yang diduduki” dan menganggap semua bangunan permukiman Yahudi di atas tanah itu adalah tindakan ilegal.
Pada hari Rabu (20/12), Trump mengancam untuk memotong bantuan keuangan dari negara-negara yang memilih mendukung resolusi PBB.
Status Yerusalem telah lama dianggap sebagai isu terakhir yang harus ditentukan dalam perundingan damai Israel-Palestina dan keputusan Trump secara luas dipandang sebagai penghalang kesepahaman sejak lama.
Rancangan resolusi PBB tersebut menegaskan bahwa isu Yerusalem adalah status akhir yang harus diselesaikan melalui perundingan langsung antara Palestina dan Israel, sesuai dengan resolusi Dewan Keamanan yang relevan.
Wilayah Yerusalem Timur berada dalam pendudukan Israel sejak 1967, sementara rakyat Palestina terus berjuang untuk mendeklarasikan Yerusalem sebagai ibukota negaranya.
Yerusalem hingga kini tetap menjadi inti konflik Israel-Palestina selama beberapa dekade, sementara rakyat Palestina tetap memperjuangkan Yerusalem Timur yang diduduki Israel sebagai ibu kota negaranya.
Pada bulan April, Rusia mengumumkan pengakuannya atas Yerusalem Barat sebagai ibukota Israel, yang mengungkapkan harapan bahwa separuh bagian timur kota Yerusalem pada akhirnya dapat berfungsi sebagai ibukota Palestina
Khususnya, dalam pengumumannya pekan lalu, Trump menekankan bahwa pemerintahannya belum mengambil posisi mengenai “batas-batas spesifik kedaulatan Israel di Yerusalem”.[IZ]