JAKARTA (Panjimas.com) – Kinerja penanggulangan kemiskinan nasional mengalami pasang surut dalam dekade terakhir. Dengan menempatkan perubahan jumlah penduduk miskin sebagai sasaran kebijakan, terlihat bahwa kinerja perekonomian nasional semakin menurun.
Bila pada periode Maret 2011 – September 2014 penduduk miskin berkurang 327 ribu orang per semester, maka pada periode September 2014 – Maret 2017 penduduk miskin hanya berkurang 85 ribu orang per semester. (Kamis, 21/12)
Pada 2,5 tahun pertama pemerintahan Jokowi, penduduk miskin di pedesaan turun 274 ribu jiwa, sedangkan di perkotaan justru meningkat 317 ribu jiwa. Namun pada periode September 2014 – Maret 2017 ini, kedalaman dan keparahan kemiskinan pedesaan justru meningkat signifikan, masing-masing 10,7% dan 17,5%. Kebijakan ekonomi Jokowi menunjukkan anomali, yaitu cenderung bias ke penduduk miskin pedesaan, namun membuat kondisi kemiskinan pedesaan menjadi semakin buruk.
Pada seminar Poverty Outlook 2017 yang bertempat di Museum Kebangkitan Nasional, Direktur Utama Dompet Dhuafa Filantropi, drg. Imam Rulyawan, MARS., mengatakan, Dompet Dhuafa memiliki konsep di mana setiap program pemberdayaan kami setidaknya harus bisa menguatkan ekonomi Rumah Tangga dan memperluas akses ke pasar.
“Untuk itulah kami memiliki banyak program terintegrasi di wilayah pedesaan yang dinamakan dengan klaster mandiri. Melalui program ini Dompet Dhuafa memberdayakan masyarakat melalui program kesehatan, pendidikan, agama dan ekonomi secara terintegrasi, sehingga masyarakat desa sebagai unit-unit produksi bisa mandiri secara perekonomian.”
Kantong kemiskinan dengan kepadatan penduduk miskin dan biaya hidup yang tinggi didominasi justru oleh kota-kota besar di Sumatera diikuti Jawa, seperti Kota Medan, Kota Bekasi, Kota Palembang, Kota Tangerang dan Kota Surabaya.
Kota-kota ini menghadapi masalah kemiskinan kota paling berat karena besarnya jumlah penduduk miskin, tingginya kepadatan penduduk miskin dan tingginya biaya hidup minimum. Hal ini menunjukkan pembangunan perkotaan di kota-kota inti tersebut gagal menghasilkan pertumbuhan yang inklusif.
“Justru hubungan antara pertumbuhan ekonomi dengan melebarnya ketimpangan itu erat terkait. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi tidaklah otomatis menjamin tingkat distribusi kue ekonomi secara adil terhadap seluruh lapisan masyarakat. Biasanya justru sekelompok kecil “The Haves” lah yang banyak menikmatinya,” ujar drg, Imam Rulyawan.
Penyediaan infrastruktur dasar yang ditujukan untuk kelompok miskin memiliki peran penting dalam meningkatkan kualitas modal manusia yang secara efektif akan memutus rantai kemiskinan.
Secara mendasar, penyediaan infrastruktur pendidikan dan kesehatan secara merata untuk setiap warga negara, termasuk si miskin, adalah amanat konstitusi (Pasal 31 dan 34 UUD 1945). Karena itu, selayaknya fasilitas kesehatan dan pendidikan dasar ini tersedia secara merata di 511 kabupaten-kota, 7.098 kecamatan, dan 82.629 desa-kelurahan di seluruh negeri.
Kenyataannya, penyediaan infrastruktur kesehatan dan pendidikan dasar belum tersedia secara merata, dan seringkali pula dengan kualitas yang tidak memadai. Ketersediaan infrastruktur untuk si miskin juga sangat timpang antar daerah.
“Dompet Dhuafa akan tetap fokus dalam pemberdayaan wilayah desa, terluar, termiskin, terbelakang dengan tetap bertumpu pada lima pilar pemberdayaan kesehatan, pendidikan, ekonomi, budaya dan agama. Dengan mentargetkan 100 Desa di wilayah Indonesia dengan memakai indikator keberhasilan Desa Development (DD) Index yang sedang kami kembangkan”, tambah drg.Imam Rulyawan, MARS. (des)