JAKARTA (Panjimas.com) – Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam Fatwanya yang bernomor 56 Tahun 2016 tentang Hukum Menggunakan Atribut Keagamaan Non-Muslim, merekomendasikan, agar umat Islam agar tetap menjaga kerukunan hidup antara umat beragama dan memelihara harmonis kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, tanpa menodai ajaran agama, serta tidak mencampuradukkan antara akidah dan ibadah Islam dengan keyakinan agama lain.
MUI juga mengajak umat Islam agar saling menghormati keyakinan dan kepercayaan setiap agama. Salah satu wujud toleransi adalah menghargai kebebasan non-muslim dalam menjalankan ibadahnya, bukan dengan saling mengakui kebenaran teologis.
Umat Islam, juga diharapkan memilih jenis usaha yang baik dan halal, serta tidak memproduksi, memberikan, dan/atau memperjualbelikan atribut keagamaan non-muslim.
Pimpinan perusahaan hendaknya menjamin hak umat Islam dalam menjalankan agama sesuai keyakinannya, menghormati keyakinan keagamaannya, dan tidak memaksakan kehendak untuk menggunakan atribut keagamaan non-muslim kepada karyawan muslim.
“Pemerintah wajib memberikan perlindungan kepada umat Islam sebagai warga negara untuk dapat menjalankan keyakinan dan syari’at agamanya secara murni dan benar serta menjaga toleransi beragama.”
Kemudian, Pemerintah wajib mencegah, mengawasi, dan menindak pihak-pihak yang membuat peraturan (termasuk ikatan/kontrak kerja) dan/atau melakukan ajakan, pemaksaan, dan tekanan kepada pegawai atau karyawan muslim untuk melakukan perbuatan yang bertentangan dengan ajaran agama seperti aturan dan pemaksaan penggunaan atribut keagamaan non-muslim kepada umat Islam.
Demikian fatwa MUI yang ditetapkan di Jakarta pada tanggal 14 Desember 2016, ditandatangani oleh Ketua Komisi Fatwa MUI, Prof. Dr. H. Hassanuddin AF, MA dan Sekretaris DR. HM. Asrorun Ni’am Sholeh, MA ( (des)