JAKARTA (Panjimas.com) – Jelang Natal, Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah memberikan rambu-rambu yang harus diperhatikan umat Islam agar tetap toleransi tanpa harus menodai akidahnya.
Dalam Fatwa MUI Nomor 56 Tahun 2016 tentang Hukum Menggunakan Atribut Keagamaan Non-Muslim, menggunakan atribut keagamaan non-muslim adalah haram. Begitu juga, mengajak dan memerintahkan penggunaan atribut keagamaan non-muslim adalah haram.
MUI melihat di masyarakat terjadi fenomena di mana saat peringatan hari besar agama non-Islam, sebagian umat Islam atas nama toleransi dan persahabatan, menggunakan atribut atau simbol keagamaan non-muslim yang berdampak pada siar keagamaan mereka.
Untuk memeriahkan kegiatan keagamaan non-Islam, ada sebagian pemilik usaha seperti hotel, super market, departemen store, restoran dan lain sebagainya, bahkan kantor pemerintahan mengharuskan karyawannya, termasuk yang muslim untuk menggunakan atribut keagamaan dari non-muslim.
Terhadap masalah tersebut, muncul pertanyaan mengenai hukum menggunakan atribut keagamaan non-muslim. Oleh karena itu dipandang perlu menetapkan fatwa tentang hukum menggunakan atribut keagamaan non-muslim guna dijadikan pedoman.
Setelah dikaji berdasarkan Al Qur’an, hadits, pendapat ulama, MUI memutuskan dan menetapkan hukum menggunakan atribut keagamaan non-muslim.
“Atribut keagamaan adalah sesuatu yang dipakai dan digunakan sebagai identitas, ciri khas atau tanda tertentu dari suatu agama dan/atau umat beragama tertentu, baik terkait dengan keyakinan, ritual ibadah, maupun tradisi dari agama tertentu.”
Adapun ketentuan hukumnya, menggunakan atribut keagamaan non-muslim adalah haram. Mengajak dan/atau memerintahkan penggunaan atribut keagamaan non-muslim adalah haram.
Komisi MUI menghimbau kepada semua pihak untuk menyebarluaskan fatwa ini. Demikian fatwa ini ditetapkan di Jakarta pada tanggal 14 Desember 2016, ditandatangani oleh Ketua Komisi Fatwa MUI, Prof. Dr. H. Hassanuddin AF, MA dan Sekretaris DR. HM. Asrorun Ni’am Sholeh, MA (des)