JAKARTA (Panjimas.com) – Selain Fatwa MUI Nomor 56 Tahun 2016 tentang Hukum Menggunakan Atribut Keagamaan Non-Muslim, Komisi MUI sebelumnya juga telah mengeluarkan Fatwa tentang Perayaan Natal Bersama (7 Maret 1981).
Berikut dijelaskan Komisi Fatwa tentang haramnya meniru dan menggunakan atribut keagamaan non-muslim, khususnya atribut Natal, berdasarkan Al Qur’an, Hadits dan pendapat para ulama.
Dalam Al-Quran, Allah SWT melarang umat Islam untuk meniru perkataan orang-orang kafir dan mencampuradukkan yang haq dengan yang bathil.
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu katakan (kepada Muhammad): ‘Raa´ina’, tetapi katakanlah: ‘Unzhurna’, dan ‘dengarlah’. Dan bagi orang-orang yang kafir siksaan yang pedih.” (QS. Al-Baqarah: 104)
“Dan janganlah kamu campur adukkan yang hak dengan yang bathil dan janganlah kamu sembunyikan yang hak itu, sedang kamu mengetahui.” (QS. al-Baqarah : 42)
Dalam Al Qur’an Allah SWT juga menjelaskan tentang toleransi dan hubungan antar agama, khususnya terkait dengan ibadah, sebagaimana firman-Nya:
“Katakanlah: “Hai orang-orang yang kafir, aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu bukan penyembah Tuhan yang aku sembah. Dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah. Untukmulah agamamu, dan untukkulah, agamaku” (QS. al-Kafirun: 1-6).
Selanjutnya, Allah SWT menjelaskan larangan mengikuti jalan, petunjuk, dan syi’ar selain Islam. “bahwa (yang Kami perintahkan) ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia; dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai-beraikan kamu dari jalan-Nya. Yang demikian itu diperintahkan Allah kepadamu agar kamu bertakwa.” (QS. Al-An’am: 153)
Allah SWT tidak melarang orang Islam bergaul dan berbuat baik dengan orang kafir yang tidak memusuhi Islam. Sebagaimana dijelaskan dalam Al Qur’an”
“Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangi kamu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil”. (QS. Al-Mumtahanah: 8)
Allah SWT pun engkhabarkan bahwa orang mukmin tidak bisa saling berkasih sayang dengan orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya. “Kamu tidak akan mendapati sesuatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-anak atau saudara-saudara ataupun keluarga mereka. (QS. Al-Mujadilah: 22)
Keterangan Hadits
Rasulullah Saw mengingatkan kaum muslimin agar tidak meniru orang kafir, seperti dijelaskan dalam sebuah hadits, dari Ibnu Umar ra, dari Rasulullah Saw bersabda: Selisihilah kaum musyrikin, biarkanlah jenggot panjang, dan pendekkanlah kumis” (HR. al-Bukhari dan Muslim)
Kemudian dari Abi Sa’id al-Khudri ra dari Nabi Saw: “Sungguh kalian benar-benar akan mengikuti tuntunan orang-orang sebelum kalian, sejengkal demi sejengkal dan sehasta demi sehasta, sampai seandainya mereka memasuki lubang biawakpun tentu kalian mengikuti mereka juga” Kami berkata: Wahai Rasulullah, Yahudi dan Nashara? Maka beliau berkata: “Maka siapa lagi?.” (HR. al-Bukhari dan Muslim).
Dari Ibnu Umar ra, Rasulullah Saw bersabda: “Aku diutus dengan pedang menjelang hari kiamat hingga mereka menyembah Allah Ta’ala semata dan tidak mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun, dan telah dijadikan rizkiku di bawah bayangan tombakku, dijadikan kehinaan dan kerendahan bagi siapa yang menyelisihi perkaraku. Dan barangsiapa menyerupai suatu kaum maka ia termasuk bagian dari mereka” (HR. Ahmad)
Dari Ibnu Umar ra, Rasulullah Saw bersabda: “Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk dalam golongan mereka.” (HR Abu Dawud)
Berikutnya, dari Amru bin Syu’aib dari ayahnya dari kakeknya, sesungguhnya Rasulullah Saw bersabda: “Bukan dari golongan kami orang yang menyerupai selain kami, maka janganlah kalian menyerupai Yahudi dan Nasrani, karena sungguh mereka kaum Yahudi memberi salam dengan isyarat jari jemari, dan kaum Nasrani memberi salam dengan isyarat telapak tangannya”. (HR. al-Tirmidzi)
Qaidah Sadd al-Dzari’ah menjelaskan, mencegah sesuatu perbuatan yang lahiriyahnya boleh akan tetapi dilarang karena dikhawatirkan akan mengakibatkan perbuatan yang haram, yaitu pencampuradukan antara yang hak dan bathil. Qaidah Fidhiyyah, “Mencegah kemafsadatan lebih didahulukan (diutamakan) daripada menarik kemaslahatan” (des)