YERUSALEM, (Panjimas.com) – Khotbah Jumat di Masjid Al-Aqsa, 15 Desember lalu mengecam keras deklarasi kontroversial Presiden A.S. Donald Trump yang mengakui Yerusalem sebagai ibukota Israel.
“Seratus tahun telah berlalu sejak deklarasi Balfour, dimana tanah [Palestina] diberikan oleh mereka [Inggris] yang tidak memilikinya kepada mereka [Yahudi] yang tidak layak mendapatkannya,” ujar Imam Masjid Al-Aqsa Sheikh Ismael Nawahda dalam Khutbah Jumatnya, dilansir dari Anadolu Ajensi.
“Sekarang, pada peringatan 50 tahun pendudukan Yerusalem, pemerintah A.S. telah mengakui tanah suci ini [yaitu Yerusalem] sebagai ibukota Israel secara terang-terangan, dengan mengabaikan hak-hak Palestina dan Muslim,” imbuhnya.
Dengan menegaskan bahwa Yerusalem akan selalu menjadi milik Umat Muslim dan Bangsa Arab, Sheikh Ismael Nawaha menyatakan: “Kami berharap negara-negara yang telah bereaksi [secara negatif] terhadap keputusan A.S. … akan mengambil langkah nyata untuk membatalkannya.”
Sheikh Nawahda kemudian menegaskan Yerusalem sebagai “kunci perdamaian dan kunci peperangan” di wilayah tersebut.
Pada pertemuan puncak di Istanbul pekan ini, Organisasi Kerjasama Islam (OKI) mengeluarkan sebuah deklarasi yang mengakui Yerusalem Timur sebagai ibukota Palestina, dan mendesak seluruh dunia untuk melakukan hal yang sama.
“Kami mengkonfirmasi bahwa kami mengakui negara Palestina dengan Yerusalem Timur sebagai ibukotanya, dan mendesak seluruh dunia untuk mengakui Yerusalem Timur sebagai ibukota Palestina yang diduduki,” tulis deklarasi tersebut saat dibacakan di Istanbul, Turki, dilansir dari Anadolu.
Deklarasi Istanbul menegaskan bahwa “Kami tidak mungkin menyerah pada negara Palestina yang merdeka dan berdaulat, dengan Yerusalem Timur sebagai ibukotanya.”
“[… Keputusan Trump tentang Yerusalem] tidak berlaku dan batal berdasarkan sejarah, hukum dan hati nurani,” dalam deklarasi Istanbul.
“Kami mendesak PBB, Uni Eropa dan anggota masyarakat internasional untuk menjaga resolusi PBB mengenai status Yerusalem,” imbuh Deklarasi Istanbul tersebut.
Ketegangan meningkat di Tepi Barat dan Gaza menyusul keputusan Presiden Amerika Serikat Donald Trump pada hari Rabu (06/12) untuk mengakui Yerusalem sebagai ibukota Israel.
Ribuan warga Palestina mengadakan aksi demonstrasi di Tepi Barat di tengah bentrokan dengan pasukan Israel, yang menyebabkan setidaknya 2 pengunjuk rasa dibunuh pasukan Israel sementara ratusan korban lainnya terluka.
Hamas Jumat (08/12) lalu mengecam keras tindakan brutal tentara Israel yang menargetkan para pengunjuk rasa Palestina di wilayah Tepi Barat dan Jalur Gaza.
Hazem Qassim, juru bicara organisasi perlawanan Palestina yang berbasis di Gaza itu, menyebut tindakan tentara Israel terhadap para peserta aksi demonstrasi damai tersebut sebagai “kejahatan yang dilakukan di bawah perlindungan AS”.
“Kami menyerukan rakyat Palestina untuk turun ke jalan di setiap kota tempat mereka tinggal, untuk meluncurkan Intifadah baru dengan maksud untuk mempertahankan Yerusalem,” pungkas Qassim dalam pernyataannya, dikutip dari AA.
Meskipun mendapat perlawanan dunia internasional, Presiden Amerika Serikat Donald Trump Rabu (06/12) di ruang resepsi diplomatik Gedung Putih tetap bersikukuh mengumumkan keputusannya untuk mengakui Yerusalem sebagai ibukota Israel.
Menurut Trump, Departemen Luar Negeri A.S. telah memulai persiapan untuk memindahkan Kedutaan Israel Washington dari Tel Aviv ke Yerusalem.
Pergeseran dramatis dalam kebijakan A.S. ini segera memicu gelombang aksi demonstrasi “Day of Rage” di wilayah Palestina, bahkan di berbagai negara seperti Turki, Mesir, Yordania, Aljazair, Irak, Indonesia dan di negara-negara Muslim lainnya.
Pengumuman Trump tersebut juga memicu kecaman keras dari seluruh dunia, termasuk Uni-Afrika, Uni Eropa, Negera Amerika Latin dan PBB.
Pemimpin dunia, dari kawasan Eropa sampai Timur Tengah hingga Australia, mengecam keras keputusan tersebut sebagai langkah “sepihak dan di luar visi perdamaian yang dinegosiasikan antara Israel dan Palestina,” para pemimpin dunia juga memperingatkan “ketegangan yang meningkat atau bahkan kekerasan di Timur Tengah.”
Selama masa kampanye Pilpres AS lalu, Donald Trump berjanji untuk memindahkan Kedutaan A.S. dari Tel Aviv ke Yerusalem, dan sejak Rabu (06/12) janji itu diwujudkan Trump melalui pernyataanya di ruang Resepsi Diplomatik Gedung Putih.
Yerusalem hingga kini tetap menjadi inti konflik Israel-Palestina selama beberapa dekade, sementara rakyat Palestina tetap memperjuangkan Yerusalem Timur yang diduduki Israel sebagai ibu kota negaranya.
Pada bulan April, Rusia mengumumkan pengakuannya atas Yerusalem Barat sebagai ibukota Israel, yang mengungkapkan harapan bahwa separuh bagian timur kota Yerusalem pada akhirnya dapat berfungsi sebagai ibukota Palestina
Khususnya, dalam pengumumannya pekan lalu, Trump menekankan bahwa pemerintahannya belum mengambil posisi mengenai “batas-batas spesifik kedaulatan Israel di Yerusalem”.[IZ]