JAKARTA, (Panjimas.com) – Salah satu dari sekitar 10 orang yang dilaporkan melakukan tindakan penolakan kedatangan Ustadz Abdul Somad di Bali yakni seorang anggota DPD, Arya Wedakarna. Ia dilaporkan kembali ke pihak Bareskrim Polri atas tindakannya berapa waktu lalu yang melakukan ujaran kebencian dan melanggar UU ITE.
Kapitra Ampera selaku Pengacara muslim dari GNPF yang melaporkan Arya Wedakarna mengatakan, ada gejala kebiasaan di masyarakat berupa pengendapan kebencian terhadap Islam.
Aliansi Masyarakat Muslim yang dipimpin Kapitra Ampera itu melaporkan anggota DPD asal Bali Arya Wedakarna ke Bareskrim Mabes Polri terkait ujaran kebencian pasal 156a dan pelanggaran ITE. Arya sebelumnya juga dilaporkan oleh Pushami (Pusat Hak Asasi Manusia Indonesia) karena melakukan provokasi kepada masyarakat Bali terhadap Ustaz Abdul Shomad.
Menurutnya, ada gejala kebiasaan di masyarakat berupa pengendapan kebencian terhadap Islam. Hal itu terjadi kepada Arya Wedakarna. Kasus Shomad, kata Kapitra merupakan trigger dari pengendapan kebencian tersebut.
“Sebelumnya dia (Arya) sudah tunjukkan bagaimana tidak boleh ada Bank Syariah, pelarangan jilbab dan banyak sekali kita print out postingan itu seperti gunung es dan puncaknya pada ustad Abdul Shomad. Karena sebelum ustad Abdul Shomad datang, pada tanggal 1 Desember 2016 dia sudah posting di akun facebook-nya,” ujar Kapitra kepada media di Gedung Bareskrim, Jakarta, Rabu (13/12).
Sebagai representasi masyarakat, lanjut Kapitra, DPD seharusnya tidak boleh membiarkan anggotanya melakukan pelanggaran hukum bahka sikap permusuhan yang dapat mengancam persatuan bangsa. DPD, tutur Kapitra.
“Ketika menjadi anggota DPD, maka dia bukan hanya menjadi representasi daerahnya, tetapi juga harus menjadi representasi dari masyarakat Indonesia. Maka dia harus berada di atas semua golongan, etnis dan agama,” ungkap Kapitra.
“Sebab, dia diberikan kepercayaan untuk mensejahterakan masyarakat-masyarakat daerah. Indonesia ini terdiri daerah-daerah, tidak ada Ibu Kota. Presiden tidak punya masyarakat. Yang punya masyarakat itu daerah,” imbuhnya.
Selain itu, Kapitra menampik pernyataan Arya yang mengatakan surat MKD atas pemberhentian dirinya sebagai anggota DPD gugur secara hukum. Hal itu diungkapkan Arya karena pada saat sidang paripurna dia memenangkan pernyataannya.
“Itu bohong. Itu bohong besar! Pak AM Fatwa (alm) bilang, ada empat senator Bali meminta ditunda pelaksanaanya (keputusan pemberhentian). Keputusan itu mengikat, mana ada putusan MKD dibatalkan di Paripurna. Mana ada aturan hukumnya. Maka diminta segera dilaksanakan laporan-laporannya,” tegasnya.
Sebab, jelas Kapitra, beberapa Ormas seperti NU, Muhammadiyah, Persis dan lain sebagainya kembali melaporkan Arya. Artinya, kata dia, keputusan pemberhentian tersebut berlaku dan tidak dapat gugur.
“Kita mau bikin 200 LP (Laporan Polisi). Hari ini ITE kita lapor. Kita menolong dia (Arya) supaya berhenti melakukan kejahatan terhadap umat Islam,” tandasnya.
Sebagai informasi, Arya telah melakukan pelanggaran ITE sejak bulan November 2016 dan dilaporkan ke MKD. Setelah itu, MKD membuat tim pencari fakta (TPF) dan dikeluarkan putusan Nomor 3 Tahun 2017 yang menyatakan bahwa Arya terbukti bersalah melakukan perbuatan hatespeech dan juga menyerang agama Islam. Diantaranya, larangan memakai jilbab, larangan shalat Idul Fitri di lapangan dan larangan memotong sapi terhadap umat Islam di Bali.[ES]