NABLUS, (Panjimas.com) – Seorang anak Palestina terluka akibat tembakan Tentara Zionis Israel Selasa (12/12) di kota Salfit, wilayah Tepi Barat, demikian menurut Kementerian Kesehatan Palestina.
Anak Palestina tersebut, diklaim pihak berwenang Israel, telah berusaha menyerang tentara Israel yang ditempatkan di daerah tersebut.
Anak itu segera dilarikan ke rumah sakit untuk perawatan, ujar Kemenkes Palestina.
Kementerian Kesehatan menambahkan bahwa anak tersebut kini menjalani operasi karena luka yang dideritanya, tanpa memberikan rincian tambahan, dikutip dari AA.
Insiden tersebut terjadi di tengah gelombang aksi demonstrasi yang sedang berlangsung di wilayah Palestina untuk memprotes keputusan kontroversial Presiden A.S. Donald Trump pekan lalau yang mengakui Yerusalem sebagai ibukota Israel.
Menurut badan statistik resmi Palestina, 14 anak Palestina telah dibunuh pasukan Israel tahun ini di wilayah Tepi Barat yang dijajah dan wilayah Jalur Gaza yang diblokade.
Hamas Serukan Intifada
Hamas Jumat (08/12) lalu mengecam keras tindakan brutal tentara Israel yang menargetkan para pengunjuk rasa Palestina di wilayah Tepi Barat dan Jalur Gaza.
Hazem Qassim, juru bicara organisasi perlawanan Palestina yang berbasis di Gaza itu, menyebut tindakan tentara Israel terhadap para peserta aksi demonstrasi damai tersebut sebagai “kejahatan yang dilakukan di bawah perlindungan AS”.
“Kami menyerukan rakyat Palestina untuk turun ke jalan di setiap kota tempat mereka tinggal, untuk meluncurkan Intifadah baru dengan maksud untuk mempertahankan Yerusalem,” pungkas Qassim dalam pernyataannya, dikutip dari AA.
Gerakan Intifada
Gerakan Intifada Palestina pertama kali meletus pada akhir tahun 1987 ketika kendaraan militer Israel menyerang mobil Palestina, hingga merenggut nyawa empat penumpangnya yang merupakan warga Palestina.
Insiden penyerangan Militer Israel tersebut kemudian memicu gelombang besar aksi demonstrasi jalanan yang dengan cepat menyebar di wilayah Tepi Barat, Jalur Gaza dan Yerusalem.
Selama enam tahun berikutnya, aksi demonstrasi jalanan berubah menjadi kampanye pembangkangan sipil yang terorganisir – dan perlawanan bersenjata – yang bertujuan melawan aksi pendudukan Israel selama beberapa dekade di Palestina.
Ratusan warga Palestina gugur dan sejumlah warga Israel tewas dalam konflik tersebut, termasuk warga sipil dari kedua belah pihak.
Gerakan perlawanan Palestina, Hamas kemudian didirikan sesaat setelah aksi pemberontakan rakyat dimulai. Hamas kemudian memainkan peranan penting dalam mengatur operasi perlawanan terhadap Israel.
Intifadah, yang berakhir pada tahun 1993 dengan penandatanganan “Oslo Accords” [“Persetujuan Oslo”], diikuti oleh pemberontakan Intifada kedua yang mematikan.
Pada tahun 1999, perundingan damai yang didukung A.S. antara Israel dan Otoritas Palestina, yang diciptakan melalui Persetujuan Oslo, runtuh seketika.
Setahun kemudian, pemimpin ekstrimis sayap kanan Israel Ariel Sharon memaksa masuk ke Masjid Al-Aqsa di Yerusalem, situs tersuci ketiga umat Islam.
Kunjungan provokatif Ariel Sharon ke Al Haram As Sharif tersebut kemudian mendorong gelombang baru demonstrasi dan perlawanan Palestina, baik di wilayah pendudukan maupun di dalam wilayah Israel sendiri.
Intifadah kedua, menyebabkan lebih dari 4.400 warga Palestina gugur dan ribuan lainnya luka-luka. Gerakan Intifadah Kedua diakhiri dengan penarikan pasukan Militer Israel dari Jalur Gaza pada tahun 2005.
Serentetan gerakan ketiga konflik Israel-Palestina meletus pada bulan Oktober 2015 setelah pasukan zionis Israel berulang kali menyerbu kompleks Masjid Al-Aqsa di Yerusalem.
Gerakan ini disebut sebagai Intifadah Ketiga, Intifadah Pisau atau Pemberontakan Yerusalem, gelombang kerusuhan – yang menyebabkan 160 warga Palestina gugur dan 26 warga Israel tewas – konflik kembali meruncing pada awal tahun 2016 di tengah tindakan keras Militer Israel yang semakin besar dan semakin menekan rakyat Palestina.[IZ]